Indonesia yg konon lahir dari rahim agraris
Indonesia yang konon lahir dari rahim agraris dan maritim, kini wajahnya kian menua. Tak kurang dari 80 persen petani yang ada di Indonesia, berusia lebih dari 50 tahun. Kebanyakan dari mereka tidak berpendidikan tinggi. Cakrawalanya tercerabut dari kuasa teknologi dan akses informasi. Sehingga mereka pun kesulitan menjual produknya. Keterpurukan petani semakin lengkap, ketika dari hari ke hari lahan pertanian menciut. Petani tersaruk-saruk memperbaiki nasib. Akibatnya profesi petani bagi sebagian anak muda harus dilupakan. Dikubur bersama tanah dan air yang sejatinya subur makmur.
Ini adalah produk pendidikan kita yang terlalu bercorak urban, yang seolah-olah menggambarkan masa depan dan pilihan profesi ideal hanya ada pada kegiatan-kegiatan produktif di perkotaan. Seakan kita lupa bahwa Indonesia sebagai negara kepulauan, potensi terbesarnya justru terletak di sektor pertanian. Maka tak heran jika arus urbanisasi begitu deras. Anak muda desa terlanjur menggantungkan mimpinya di kota-kota besar, yang selalu dianggap sebagai pusat kemajuan zaman. Mereka tak cukup nyaman dengan kehidupannya sebagai “pemulia pangan”. Lebih tepatnya, mereka tak pernah diajarkan untuk menggantungkan mimpinya di antara batang-batang padi, harumnya ranum buah, segarnya ikan di laut dan gelimangan kubangan sapi.
Di satu titik nanti, bisa jadi kita akan sangat kesulitan menjawab pertanyaan ini: “Siapa yang bisa memberi kita makan, jika bukan kita sendiri yang bertani?”
Iya, defisit kemanusiaan terbesar di era globalisasi adalah ketika kita sudah tidak tahu lagi asal usul makanan yang terhidang di atas meja makan. Padahal, discourse pangan itu serupa pekerjaan paling alami dan sederhana, sama halnya seperti nafas dan berjalan. Kita duduk di meja makan, ambil sendok, lalu mulai menyuap, tanpa menyadari besarnya konsekuensi global dari makanan di atas piring kita. Daging sapi dari Selandia Baru, gandum dari Australia, jeruk dari China, daging ayam dari Thailand, kedelai dari Amerika, dan bahkan beras murah sekalipun, bukan dari Bantul atau Karawang, tapi jauh-jauh dari Vietnam. Ironis.
Sementara terjadi penyepelean besar-besaran, hal sebaliknya justru terjadi di negara maju seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, Jepang yang gila-gilaan membangun kekuatan sektor pertanian dengan adopsi teknologi canggih. Mereka sepertinya sadar, bahwa pada akhirnya kebutuhan primer manusia adalah pangan. Manusia tidak mungkin dapat memakan mobil, apartemen, bensin, kamera, tablet, perhiasan dan lain-lain. Stok pangan dunia yang selama ini disuplai negara-negara dunia ketiga, semakin hari semakin menipis akibat perubahan orientasi pembangunan ekonomi ke arah yang non agraris. Maka ke depannya mereka sendiri wajib untuk memastikan kedaulatan pangan. Bukankah dengan menjadi petani berarti bekerja demi kelangsungan hidup seluruh manusia di dunia? Beras tidak mungkin kita ganti dengan handphone, daging ayam tidak mungkin kita ganti dengan televisi, sayur sawi tidak mungkin kita ganti dengan mobil dan hotel mewah.
Maka, dengan menjadi petani, kita dapat memastikan ketersediaan pangan. Dengan menjadi petani, kita juga dapat memastikan keadilan dalam distribusinya. Dan tentu, kita dapat menjadi pemain utama dalam kesuksesan bisnis yang mensejahterakan diri sendiri, masyarakat desa dan kelestarian ekosistem. Bukankah sampai hari ini kita belum menemukan teknologi yang mampu mencukupi nutrisi manusia tanpa pangan?
Masa depan pangan dunia dan Indonesia jelas di tangan petani. Kita ditantang untuk ambil peran penting. Bagi pemuda, kamus hidupnya tak kenal frasa saling menyalahkan. Mengutuk berarti menepak air cermin wajahnya sendiri. Macetnya regenerasi petani itu harus direspon dengan jalan keluar kreatif. Problem kusut itu justru menghadirkan tantangan menarik. Banyak sekali kesempatan baru yang muncul ketika kita bisa mengubah problem pertanian, kelautan, perkebunan, peternakan dan teknologi pangan menjadi solusi. Lalu mengapa potensi dan peluang itu harus dijawab oleh bangsa lain? Bukankah kita yang seharusnya lebih paham tentang jawaban atas masalah kita sendiri?
Tradisi mengolah alam yang diwariskan nenek moyang kita dalam sektor pertanian mengandung kearifan-kearifan (magnum opus) yang mengagumkan. Rahim sejati dari Nusantara adalah hehijauan yang menyelimuti tanah air ibu pertiwi. Daratan terhampar dua juta kilometer persegi, laut seluas 5,8 juta kilometer persegi terbentang sepanjang 8.000 km dengan panjang pantai 84.000 km, menjadikan kita negara khatulistiwa terbesar di dunia. Tugas kita para pemuda untuk meransum tekad menjadi pemulia pangan sebagai mission sacre karena Tuhan telah memberikan anugerah kebaikan alam tak terbatas pada Indonesia.
Kita tentu saja merindukan saat anak-anak kecil berarak imaji ditanya oleh gurunya di sekolah, “Apa cita-citamu kelak, Nak?”, Dijawabnya lugas dengan sorot mata terang yang mengungkap kepercayaan diri tinggi, “Saya ingin menjadi petani, Bu!”. Agar setiap doa sebelum makan, terselip kebanggaan yang diucap, fasih mengucap nama saudara-saudari kita sendiri. Rafi, Galih, Asri, Ihsan, Ucok, Citra, Andi, Markus dan Ursula. Anak-anak muda yang memilih terjun menjadi petani.
Yang patah tumbuh, yang hilang berganti. Inilah alasan lahirnya portal petanimuda.org. Inisiatif kecil kami utk merawat ladang persemaian bagi tumbuhnya semangat, antusiasme, hasrat, ide-ide besar yang mengakar kuat dan saling mengait erat antar sedulur, rekan, konco, rencang, sohib sesama pegiat pertanian di seluruh Indonesia. Dengan gembira kami mengajak kawan-kawan berkolaborasi konkrit untuk mengisi kekurangan wirausaha muda pertanian berkualitas dan berdaya saing global di kantong-kantong perdesaan.
Mari bergotongroyong. Zaman kita hari ini adalah zaman kolaborasi. Sebuah movement yang kita yakin akan bermakna bagi bukan saja petani tapi juga bagi ratusan juta orang Indonesia yang dikaruniai tanah dan air yang begitu subur. Tidak akan lahir Indonesia kita yang besar ini jika masyarakatnya hanya menjadi pengunyah. Basis-basis produksi tak dikuasai, tanah-tanah digadai, memakan apa yang bukan ditanam, diternak, dijala dan ditambaknya sendiri. Percayalah, tidak akan pernah lahir bangsa besar jika kedaulatan pangannya tidak kuat. Kedaulatan pangan yang kuat itu hanya akan lahir jika pemuda-pemudi terbaiknya hadir di desa.
Jadilah bagian dari semangat kami! Beritahu kami jika kamu atau temanmu adalah pemuda yang optimis bahwa masa depan bangsa kita terpancang di tanah dan airnya sendiri. Hanya dengan gali, arit, tanam, jala, ternak, bukan lagi meratapi sengkarut nasib, pasrah menjadi jongos. Seperti kata Bung Karno, “Kita adalah satu tanah air paling cantik di dunia!”. Bertani, berarti memilih untuk merdeka.
Viva petani muda 🙂
keren…. organisasi ini ada di daerah mana saja ya min
kami lokasi di jogja sobat
Masya Alloh, luar biasa sekali. Saya baru tahu di Indonesia negara agraria tercinta ini ada organisasi Petani Muda ini sungguh tergugah hati saya karena saya sendiri adalah anak dari petani di pelosok wilayah majalengka selatan. Saya sadar saya lahir dari keluarga petani dan tumbuh di lingkungan petani dan saya bercita-cita ingin menjadi petani. Mari kita bekerja sama untuk memajukan bidang agraria di tanah tercinta Indonesia. salam dari saya anak petani mjalengka
Luar biasa. Salam dari keluarga petani. Saya anak dari petani desa yang masih sedikit ilmunya tentang pertanian. Mohon bagi” ilmunya, supaya bisa menggerakan pertanian di desa saya.3
Ini baru anak kekinian, nasib negeri ini ada dtangan pemuda indonesia, pada umumnya negeri ini makan nasi dari petani,so, mengapa kita harus gengsi bertani. Salam Semangat petani muda indonesia dimanapun kalian berada.
Mantaapp! semoga perjuangannya dilancarkan Allah subhana wa ta’ala
Bagaimana cara gabung movement ini?
bisa dengan ikut berbuat sesuatu untuk pertanian atau menjadi kontributor di petanimuda.org
Semangat Tani yang Ruuuaaar biasa, sumber inspirasi buat kita Semua.
Saya sangat tertarik, karena saya juga anak desa, tapi terdampat di kota, karena susah cari kerja di desa, mohon masukan