Sekolah Pagesangan, Merawat Kehidupan Membangun Masa Depan

Kali ini, mari kita menuju Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta. Ada sebuah sekolah non formal, dikelola dengan semangat gotong royong dari anggota komunitas yang  terdiri dari sekelompok anak-anak muda yang ingin belajar tentang kemandirian dan keberdayaan secara sederhana. Tanpa gedung, bangku, lahan ataupun tiang bendera, sekolah ini tetap bisa berjalan dan berkarya.

Sekolah ini gratis dan difasilitasi oleh para penggiat pendidikan yang bekerja secara suka rela. Digagas oleh Diah Widuretno dan 17 anak Gunung Kidul yang bersemangat untuk belajar bertanam di lahan gersang. Sekolah Pagesangan lahir dari sebuah tujuan untuk menyemangati anak-anak untuk bisa tumbuh menjadi manusia yang hidup dengan ketrampilan, kemampuan untuk berfikir serta berdaulat dalam tiap pengambilan keputusan.

Gesang artinya hidup. Sekolah Pagesangan adalah sekolah kehidupan. Komunitas belajar bagi siapa saja yang ingin belajar. Tidak terbatas usia, asal, latarbelakang, suku, dll. “Sekolah pagesangan adalah komunitas belajar. Bukan LSM. Bukan proyek pemerintah. Bukan pula proyek Keagamaan.  Komunitas ada karena ada kebutuhan belajar dari masyarakat.” ungkap Diah kepada tim petanimuda.org.

Sekolah Pagesangan  ingin mewujudkan pendidikan yang kontekstual  menjawab persoalan yang ada di masyarakat. Bahwa pendidikan tidak seharusnya tercerabut dari situasi dan konteks persoalan, sosial, budaya setempat. Pendidikan harus mampu memberikan solusi atas persoalan yang ada di masyarakat, bukan sebaliknya membuat jarak dengan masyarakat.

Awal mula didirikannya Sekolah Pagesangan (SP) untuk media belajar yang ingin menjadi bagian solusi bagi persoalan warga. Solusi bagi desa, untuk meningkatkan kesejahteraan warga tanpa meninggalkan potensi dan budaya desa.

Proses belajar dan rintisan SP dimulai sejak awal 2008 dikenal dengan sebutan Sekolah Sumbu Panguripan (SSP). Diinisiasi oleh 6 orang volunteer yang tinggal di Jogja, tanpa pendanaan eksternal. Berdasarkan identifikasi dan penggalian potensi desa, ditemukan bahwa budaya bertani dan strategi pemenuhan pangan menjadi potensinya. Hidup di kawasan karst (kapur) dan ketersediaan air yang minimalis, tidak menghalangi masyarakat untuk terus bertani guna memenuhi kebutuhan pangan.

Selama berkegiatan pendanaan SP dilakukan melalui iuran volunteer, donasi serta usaha bersama anak-anak. Pendampingan di desa dilakukan 3 kali seminggu, namun memasuki tahun ketiga hanya Diah yang bertahan hingga tahun 2013. Pada tahun itu terjadi perbedaan pendapat antara Diah dengan volunteer Sekolah Sumbu yang lain, karena meskipun sudah berhenti berkarya di lapangan mereka ingin menjadikan Sekolah Sumbu sebagai institusi legal formal. Hal ini membuat Diah mengundurkan diri.

Tiga bulan setelah Diah berhenti, kegiatan bersama anak-anak terhenti pula, dan anak-anak akhirnya mencari sosok Diah kembali. “4 bulan sesudah itu saya membuat Sekolah Pagesangan bersama anak-anak. Pada waktu itu, anak-anak yang telah saya dampingi sejak 2008 sudah menginjak remaja dan memiliki kehendak kuat untuk mandiri.” Jelas Diah.

Sejak 2014,  SP memutuskan untuk lebih memperdalam bertani sebagai tema belajar. Proses belajar bertani, banyak didukung oleh masyarakat. Lahan garapan untuk demplot, keseluruhannya adalah pinjaman dari para orangtua. Sekarang Anak-anak telah memiliki lima kebun di tanah pinjaman dari orang tua mereka. Luasnya sekitar 300-500 m2 perkebunnya.

Kegiatan utama SP terbagi dalam dua hal, yang pertama ialah bertani dan mengembangkan usaha ekonomi, yang kedua Bertani dan mengolah pangan. SP mengembangkan pertanian alami dengan sistem tumpangsari dibawah tegakan pohon jati. Membuat kompos, membuat MOL (Mikro Organisme Lokal) dan bertanam dengan tehnik permakultur.

1507638_844853658934093_1940801245201354376_n

Selain kegiatan bertani, membuat kompos dan pupuk mandiri, SP juga belajar meningkatkan nilai tambah hasil panen dengan cara mengolahnya. Melalui SP, anak-anak dusun Wintaos, Girimulya ini belajar menghargai bertani sebagai penghidupan yang bermartabat. Mereka semakin optimis dan kreatif didalam mengembangkan usaha pertanian, dari proses menanam hingga mengolah nilai tambah produk pertanian. Sebut saja produk “Thiwul Instan” panganan lokal khas Gunungkidul ini dapat dijual 20rb/kilo. Thiwul berbahan dasar singkong sangat digemari masyarakat kota. Orang tua mendukung dan turut aktif dalam pembuatan produk Thiwul.

13139142_10209257336212930_6717843338333310792_n

Selain thiwul mereka juga mengolah keripik, kue serba singkong dan aneka tepung umbi-umbian. Mengembangkan pasar dengan mengikuti bazar di pasar-pasar komunitas juga dilakukan mereka sebagai bentuk pemasaran. Pesatnya teknolgi juga dimanfaatkan mereka untuk mempublikasikan hasil produk pasca panen mereka, tak heran mereka sampai memeiliki pelanggan tiwul dari Bogor.

Menariknya, dari proses ini kegiatan SP tidak hanya diikuti anak-anak, banyak orangtua yang terlibat dan belajar besama. SP juga sedang belajar mengembangkan jaringan dan dukungan dari banyak pihak.

(ras)