Ketika ditemui di Joglo Tani, pria berperawakan kecil ini menggunakan baju putih bercorak merah. Jaela Wijaya Wiguna, begitu nama lengkapnya. Akrab dipanggil Wiguna atau Gun, pria kelahiran 4 Oktober 1989 di Tasikmalaya ini bercerita awal mula ia berkecimpung di pertanian hingga kini menjadi pendamping dan penyuluh pertanian.
Perkenalan yang Tak Sengaja
Sempat kuliah di Universitas Siliwangi Fakultas Keguruan Jurusan Sejarah selama 3 semester, Wiguna terpaksa berhenti dari bangku kuliah tahun 2010 karena kendala biaya. Ia memutuskan merantau ke Bekasi dan bekerja sebagai operator di sebuah pabrik peleburan baja. Dua tahun kemudian ia tergiur ke Bali bersama orangtuanya dan bekerja sebagai tukang las perhotelan. Wiguna memutuskan kembali ke Tasikmalaya tahun 2014 dan disitulah ia bertemu dengan seorang teman yang tanpa sepengetahuannya mendaftarkan Wiguna ke sebuah lembaga pelatihan pertanian organik, tepatnya di Perkebunan Teh Maleber Gunung Gedhe Pangrango, Cianjur, Jawa Barat. Berkat keusilan temannya itulah Wiguna akhirnya bergabung di Yayasan Karang Widya (The Learning Farm Indonesia).
Tiga bulan berkenalan dengan dunia pertanian, rasa tertarik mulai muncul di hati pria yang berkulit sawo matang ini. “ Sekitar 1 hektar lahan saya garap bersama teman satu angkatan dari seluruh Indonesia dengan sistem hidroponik. Ya….perlahan-lahan lah.”, cerita Wiguna mengenang proses belajar di lembaga tersebut.
Ketertarikan disertai semangat belajar tentang pertanian yang tinggi membuahkan tawaran beasiswa keringanan biaya kuliah untuk melanjutkan kuliah di salah satu universitas swasta di Yogyakarta menghampirinya. Berawal dari tawaran tersebutlah, ia melanjutkan perantauannya di kota Gudeg. Melanjutkan kuliah di bidang pertanian di salah satu universitas swasta di Yogyakarta menjadi pilihannya.
Yogyakarta dan Joglo Tani
Tinggal di Joglo Tani, sebuah tempat pembelajaran pertanian terpadu, Wiguna semakin banyak mengenal pertanian. Dibawah asuhan TO Suprapto, pengetahuan dan keterampilan Wiguna dalam bidang pertanian semakin terasah. Terbukti dari amanahnya untuk mengelola sistem pertanian padi SRI yang dibudidayakan di Joglo Tani. “ Selain mengelola, saya juga bertugas untuk mengamati padi setiap minggu mulai dari tinggi, jumlah anakan, kondisi cuaca, serta hama dan penyakit di tanaman padi.”, urai Wiguna yang kini menjadi mahasiswa di jurusan Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Janabadra Yogyakarta.
Pemuda sederhana ini juga menambahkan bahwa dari hasil pengamatan mingguan itu, ia bersama teman-temannya dituntut mendiskusikan serta mencari solusi permasalahan tersebut. Setelah hampir satu tahun tinggal di Joglo Tani, Wiguna mendapat kewenangan menjadi pengurus organisasi KMPM (Kelompok Muda Pemberdayaan Masyarakat). Organisasi yang baru memiliki 12 anggota yang terdiri dari 3 universitas yakni Universitas Gadjah Mada, Universitas Janabadra, dan Institut Pertanian (INTAN). “Organisasi ini lebih bergerak ke pemberdayaan masyarakat. Saat ini kami sedang menjalankan program pendampingan dan penyuluhan para petani dan kelompok wanita tani (KWT) terutama bidang pangan dan pengairan di Kelurahan Semanu, Wonosari.”, jelas Wiguna tentang program di KMPM.
Lebih lanjut tentang program pendampingan dan penyuluhan di Semanu ini, Wiguna menambahkan bahwa lahan yang kini telah dimiliki oleh salah satu tokoh TNI, akan diberi bantuan berupa mesin-mesin pertanian. Akan tetapi timbul keinginan Wiguna dan teman-temannya untuk mengalihfungsikan bantuan mesin itu ke peternakan terutama sapi. “Alasannya jelas, sapi itu multifungsi. Selain diambil tenaganya untuk mengolah sawah, kotorannya juga bisa dimanfaatkan untuk biogas dan pupuk.”, jelas Wiguna. Wiguna berprinsip, pertanian dan peternakan merupakan hal yang berkesinambungan. “Akhir pertanian adalah awal peternakan dan akhir peternakan adalah awal pertanian”, ungkapnya berfilosofi.
Berguna untuk Tasikmalaya
Siapa sangka mimpi Wiguna ternyata berawal dari ucapan seorang petugas dinas yang ia temui sewaktu berkunjung ke Jepara. “Kita ini kelaparan di lumbung pangan.”, ujar Wiguna menirukan perkataan petugas dinas tersebut. “Saya tersinggung sekali dengan ucapan petugas itu, dan itu membangkitkan semangat saya untuk membuktikan bahwa saya dan kita pada umumnya bisa membuat pertanian di Indonesia lebih baik”.
Pria yang bermimpi mengajak anak muda ‘Back to Farming’ ini memiliki strategi menarik minat anak muda tertarik pada pertanian. Ia menilai produk pertanian yang diolah menjadi produk bernilai jual tinggi dapat menjadi bukti bahwa pertanian tidak melulu identik dengan kotor dan terjun langsung ke sawah. “Untuk mewujudkan itu perlu kesinambungan antara petani dengan kelompok wanita tani (KWT).”, tutur Wiguna.
“Mimpi saya itu sederhana saja, ya itu ingin memajukan kesejahteraan para petani dan mengubah pola pikir dari petani konservatif menjadi petani yang lebih modern namun condongnya ke sistem organik. Jangan sampai lah, Indonesia yang katanya tanah surga tapi masih ada saja petani yang mengeluh tidak bisa menanam tanaman dengan berbagai alasan”, urai Wiguna sambil tersenyum.
Menutup obrolan siang itu, Wiguna berharap suatu saat ia bisa kembali ke kota kelahirannya Tasikmalaya dan memberantas mafia petani dengan bekal ilmu yang ia dapat selama merantau di Jogja, baik sebagai mahasiswa, sebagai pembelajar di Joglo Tani juga sebagai pendamping dan penyuluh pertanian.Wah! (Ismi)