Ladang Nusantara, Berbagi Cerita Pertanian Indonesia

Ladang Nusantara berangkat dari rendahnya minat baca Indonesia (1:1000), dan minimnya penulisan kreatif mengenai pertanian Indonesia. Aging population di kalangan petani, dimana banyaknya petani usia non–produktif (diatas 65 tahun) serta tidak ada generasi muda yang tertarik untuk bertani, membuat minimnya kreativitas dalam peliputan pertanian Indonesia. Adalah Puspita dan Lintang, dua anak muda ibukota yang berinisiatif mendirikan Ladang Nusantara. Ladang Nusantara lebih kepada komunitas terbuka bagi siapapun yang senang menulis untuk menjadi kontributor atau pelaku pertanian yang ceritanya akan dibagi.

Ladang Nusantara mengedepankan sebuah universalitas dan nilai lokal Indonesia. Nusantara adalah sebuah nama epik yang disematkan pada Indonesia, sementara ladang bisa diartikan sebagai lahan tempat petani kita berkarya. Melalui website www.ladangnusantara.org, banyak cerita dan informasi tentang pertanian dibagikan untuk membantu masyarakat luas yang ingin mengenal dunia pertanian. Banyak cerita menarik yang diulas, misal cerita Bang Shidiq, seorang nelayan dari Kampung Komodo, NTT yang menanam jagung dan semangka. Disana Bang Shidiq bertani dengan mencoba-coba, saat ditanya berapa waktu yang dibutuhkan semangka berbuah, Bang Shidiq menjawab tak tau karena dirinya seorang nelayan bukan petani.

Puspita yang memiliki nama lengkap Puspita Insan Kamil, lulusan psikologi Universitas Indonesia seorang pejalan rutin ke pelosok Indonesia dan menengok bermacam jenis kebun. Lintang Suwatika lulusan Elektro Universitas Indonesia,  penasaran bagaimana teknologi seharusnya bisa membantu pertanian Indonesia. Lintang yang notabenenya adalah ahli robotik mulai tertarik menggeluti pertanian sejak membaca buku Masanobu Fukuoka tentang pertanian dan pendapatnya mengenai konsep manusia yang seharusnya bisa mencukupi kebutuhan hidupnya sendiri dengan bertani.

Kedua pendiri memiliki rekam jejak masa kecil yang serupa. Puspita memiliki kakek petani padi yang pada zaman penjajahan bekerja di ladang gula milik pemerintah Belanda yang kemudian dinasionalisasi. Ia mendengar banyak cerita dari kakeknya dan kemudian berbincang dengan Lintang, yang ayahnya merupakan peneliti kultur jaringan dan sejak kecil mengajaknya ke laboratorium tempatnya bekerja. Keduanya melihat minimnya cerita menarik dari pertanian untuk kalangan urban (masyarakat kota), sehingga banyak orang perkotaan kurang tertarik berkiprah di bidang pertanian.

Puspita sangat gemar menulis dan Lintang gemar dengan proses editorial. Keduanya memutuskan memulai Ladang Nusantara dengan pertama kali pergi ke sebuah kumbung jamur di Yogyakarta untuk meliput proses budidaya jamur dan menyusunnya menjadi cerita di website Ladang Nusantara. Artikel berjudul “Kaldu Jamur” di tata apik menceritakan jamur yang mulai dilirik oleh kaum vegetarian sebagai pengganti daging.

Puspita sendiri mulai tertarik menggeluti pertanian sejak kecil. Ia sering diajak merawat kebun oleh ayahnya sejak menginjak sekolah dasar. “Kami punya pohon palem yang besar-besar. Pohon jeruk, mangga, belimbing, sirsak dan sepasang ayam di rumah” cerita perempuan berlesung pipi ini.

Namun secara serius perempuan yang juga menjadi relawan peneliti pelestarian Komodo ini mulai tertarik ke dunia pertanian sejak pulang dari pertukaran pelajar di Amerika Serikat,  2015 lalu. Disana ia melihat community farming yang dilakukan universitas dan merekrut mahasiswa (bahkan mahasiswa S2 pertanian) untuk mengelola pertanian. “Di sana, diskusi multi disiplin adalah hal biasa sehari-hari, dan sebagai peneliti saya merasa di Indonesia kurang sekali mendapat pengalaman serupa. Di situ titik balik saya dan bertemu Lintang.” ungkap Puspita yang punya keinginan beberapa tahun kedepan tinggal di luar Jawa dan menjadi petani di sana.

Saat ini aktivitas utama Ladang Nusantara ialah peliputan, berbagi informasi, mengajak orang menulis dan berkontribusi dengan menulis. “Kami menargetkan ada satu tulisan baru di setiap satu kuartal, baik via email berhubungan baik dengan kontributor-kontributor atau bertemu langsung” terang Puspita.

Masalah pengelolaan Lintang menambahkan, “Tenaga kerja inti masih dua orang saja, kami memiliki satu penulis di Bandung, satu penulis dari Sumatera Utara dan satu penulis dari Amerika Serikat. Belakangan Ladang Nusantara mulai ke arah pendidikan dengan mengajukan proposal Hack A Farm ke sebuah Hibah dari Departemen Luar Negeri Amerika Serikat.

Hack A Farm merupakan event yang bertujuan memecahkan masalah-masalah pertanian lewat peran teknologi. Event Camp ini berlangsung dalam beberapa hari, dimana akan mempertemukan petani dan anak muda penggiat teknologi guna membantu masalah pertanian. Di sini Team Ladang Nusantara berperan sebagai panitia penyelenggara.

Kedepannya, Puspita dan Lintang berharap Ladang Nusantara dapat menjadi media edukasi dan inspirasi juga wadah bagi petani Indonesia untuk menceritakan keluh kesah, mempromosikan, atau berbagi dengan cara lebih menarik dan kreatif. Saat Ini Indonesia masih kalah dari Vietnam soal pertanian. Masyarakat Indonesia yang lebih menyukai konsumsi produk pertanian dari luar. Pada tahun 2014 menurut data BPS, Indonesia masih mengimpor beras sejumlah 300 ribu ton/tahun dari Vietnam. Pertanian Vietnam tidak langsung bagus. Berbekal metode teknik ekologi yang diterapkan di China, Vietnam mengalami kemajuan pesat pada produksi padi mereka. Indonesia bisa mengambil pelajaran ini dengan mempertimbangkan segala permasalahan dan batasan lahan pertanian yang semakin sempit.

Sebagai anak muda kita bisa berkontribusi sederhana dengan mengkonsumsi produk pertanian lokal. “Saya banyak belajar dari tren kopi sekarang, bahwa kopi di specialty cafe itu harus di catat siapa yang tanam, ketinggian, prosesnya, tanggalnya. Begitupula dengan komoditas pertanian lain selayaknya dinilai seperti itu juga”, tambah gadis kelahiran 1993 ini.

Bagi anak muda yang ingin turut serta membangun pertanian Indonesia, Puspita dan Lintang menegaskan bahwa banyak hal yang bisa dilakukan anak muda. Tidak asyik sendiri, berani keluar dari zona nyaman dan memulai diskusi dengan disiplin ilmu yang lain. Bertanya dan mencari informasi adalah hal terbaik yang mudah untuk dipraktekkan saat ini. Berkunjung ke petani-petani lokal dan belajar dengan mereka secara langsung. Tak cukup dengan hanya berada di balik layar, tapi juga melihat dan membantu mereka membangun pertanian Indonesia.

(ras)