Anak Muda Bowongso: Secangkir Harapan di Lereng Sumbing

Melihat lima tahun kebelakang kopi menjadi sangat popular di kalangan urban. Karakteristik masyarakat urban yang konsumtif dan senang berkumpul membuat kopi sangat mudah diterima menjadi gaya hidup. Euromonitor mendapati kedai kopi di Tanah Air bertambah 1.083 dalam lima tahun terakhir. Fenomena ini dapat dilihat dengan menjamurnya bisnis kedai kopi di kota-kota besar hingga daerah. Kedai kopi jadi pilihan tempat untuk bersantai, mengerjakan tugas, maupun berkumpul bersama teman. Hal menarik lainnya adalah pecinta kopi rela berkeliling ke berbagai tempat untuk mencicipi cita rasa yang khas dari setiap daerah. Berbicara tentang kopi, ada cerita menarik ketika kami Petani Muda berkunjung ke sebuah desa yaitu Desa Bowongso yang terletak di Kecamatan Kalijajar, Kabupaten Wonosobo. Suguhan pemandangan khas pegunungan yang sangat indah, asri, dengan tanaman tembakau dan kopi yang mendominasi kondisi kebun desa. Tak heran jika desa ini dikenal sebagai desa penghasil kopi terbaik di lereng Sumbing-Sindoro.

 

Yang menarik di Desa Bowongso adalah kelompok petani kopi disini didominasi oleh anak-anak muda. Mereka melakukan penelitian, mengelola koperasi dan membina petani-petani kopi di bawah naungan kelompok Bina Sejahtera Desa Bowongso.

 

Awal Mula Kopi Bowongso

Tahun 2015 Kopi Bowongso mulai dikenal oleh masyarakat luas sehingga cukup menarik minat pecinta kopi untuk datang ke Bowongso. Masyarakat dapat berkunjung ke sekretariat koperasi kelompok tani Bina Sejahtera Bowongso dan bertemu Mas Eed selaku ketua atau penggerak awal kelompok tani dan beberapa anggota kelompok tani lainnya. Di awal pembentukan Mas Eed sangat berperan membentuk rasa percaya antar anggota. Hal ini sangat diutamakan agar terhindar dari perpecahan ketika ada permasalahan dalam kelompok.

Di bagian Quality Control ada Mas Alfian yang akrab dipanggil Iyun. Sejak awal kelompok tani Bowongso berdiri,Mas Iyun bertugas dibagian pembelian biji kopi dari petani, menentukan kelaikan biji kopi sekaligus harga jual. Walaupun Mas Iyun menentukan harga jual, namun petani-petani anggota kelompok telah sepakat sebelumnya untuk menentukan harga terendah dan harga tertinggi.

Bowongso sebagai kelompok tani kopi sangat inisiatif untuk terus mengembangkan terobosan tanaman kopi. Ada Mas Dhany yang melakukan pengembangan tanaman dan pengolahan pasca panen kopi. Selama dua tahun Bowongso telah meneliti tanaman kopi yang menghasil sebuah kesimpulan bahwa biji yang berkualitas dihasilkan dari tanaman kopi yang memenuhi kondisi suhu, cahaya matahari, dan kelembaban.

Menanam Kopi untuk Konservasi

Awal mula munculnya kopi Bowongso ketika petani muda setempat memiliki niat baik untuk menjaga alam utamanya menjaga kelestarian hutan dan sumber mata air sekitar melalui konservasi.

Mengingat hutan dipandang sebagai sesuatu yang potensial sebagai penyedia mata air. Hal yang mendasari petani muda setempat untuk melakukan konservasi adalah melihat mayoritas petani menanam tanaman semusim yang sangat sering melakukan pengolahan lahan. Sehingga apabila diteruskan tanah menjadi rusak, mudah longsor dan berdampak pada menyusutnya jumlah mata air.

Pada tahun 2009 Dinas Pertanian Wonosobo datang melakukan sosialisasi pencegahan longsor dengan menanam kopi. Kopi dinilai sesuai sebagai tanaman konservasi karena memiliki akar tunggang sangat dalam, serabutnya sangat lebar, dan termasuk komoditas yang berpotensi meningkatkan perekonomian masyarakat. Akhirnya tanaman kopi ditanam tumpang sari dengan tembakau dan tanaman pangan. Sebelum kegiatan konservasi dilakukan, pada tanggal 28 Januari 2009 dibentuklah sebuah kelompok tani yang bernama Bina Sejahtera dengan beranggotakan petani muda setempat.


Kelompok tani Bowongso ini mengajak anak-anak muda untuk menjadi anggotanya dengan tujuan kelompok tani memiliki pola pikir yang terbuka dan kelembagaan yang kuat, mampu berjalan secara mandiri hingga berkelanjutan, mampu menghasilkan produk sendiri, tentunya petani berperan sebagai penentu harga jual produk, serta menarik minat pemuda setempat agar mau meneruskan kegiatan pertanian dari orang tuanya. Selain itu, mengubah pola pikir masyarakat dimana biasanya kelompok tani jika beranggotakan petani yang sudah berusia lanjut maka perkembangan kelompok dinilai lebih lambat. Jumlah awal anggota yang masuk dalam kelompok sebanyak 60 orang. Namun, kini yang aktif terlibat dalam kelompok hanya sebanyak 16 orang.


Mulanya bantuan bibit kopi berasal dari Dinas Hutbun (Dinas Kehutanan dan Perkebunan) yang sekarang dikenal Kementerian Pertanian sebanyak 40 buah. Di desa Bowongso ini sendiri tidak memiliki perkebunan kopi, namun terdapat tanaman kopi yang ditanam secara tumpang sari bersamaan dengan tanaman semusim lainnya seperti tembakau atau sayuran. Tumpangsari dianggap sebagai sistem yang paling tepat untuk menarik petani menanam kopi. Hanya sebagian kecil anggota yang mau mengawali menanam kopi dengan harapan petani lainnya mengikuti. Tak berakhir disitu mulai tahun 2009 – 2014, petani muda setempat juga terus melakukan uji coba, mengikuti berbagai pelatihan terkait berbudidaya kopi dengan harapan komoditas kopi dapat dikelola sebagai tanaman konservasi yang berkelanjutan dan dapat membantu meningkatkan perekonomian setempat. Terbukti tekad dan perjuangan mereka berbuah manis. Usaha untuk melakukan konservasi dengan tanaman kopi disambut baik oleh petani muda yang lain.

Pengolahan Kopi Bowongso

Tanaman kopi yang dibudidayakan berjenis arabika dan robusta. Perbedaan yang mendasar keduanya ada pada biji kopi robusta berbentuk lebih bulat serta ukuran daun yang lebih besar/ lebar. Jika jenis Arabika biji kopi lebih lonjong dan bentuk daun memanjang atau lonjong dengan ujung daun meruncing. Pangkal daun tumpul dan memiliki tangkai yang pendek. Struktur tulang daun menyirip. Saat ini bibit kopi yang ditanam berasal dari hasil uji coba melalui observasi ke lahan hutan untuk mencari kopi tua yang diyakini menjadi tuan rumah kopi Bowongso untuk dijadikan indukan. Kegiatan observasi yang dilakukan hanya memproses satu pohon. Jika postur tanaman, kesehatan tanaman, dan hasil biji kopi yang sudah diolah memiliki cita rasa yang sesuai maka akan ditandai menjadi indukan.

Perbanyakan yang dilakukan secara mandiri oleh kelompok tani melalui dua metode yaitu dari biji atau benih yang di semai, dan yang kedua menggunakan metode sambung pucuk. Metode sambung pucuk dinilai lebih efektif karena kondisinya akan sesuai dengan indukan. Apabila menggunakan biji rata – rata hanya memiliki 60% tingkat kesamaan keberhasilan menyerupai indukan. Jika perbanyakan menggunakan biji memakan waktu 1 tahun dari semai hingga siap tanam. Jika proses penyambungan sambung pucuk dilakukan langsung dilahan. Metode penyambungan menggunakan batang atas karena dinilai hasilnya akan mirip dengan indukan. Proses pengolahan biji kopi sebelum sampai ke tahap roasting yang digunakan Bowongso terdapat dua jenis yaitu proses natural dan full wash dry hulled.

Proses natural yaitu biji kopi setelah dipanen akan ditebarkan di atas permukaan nampan berjaring dan dijemur di bawah sinar matahari. Pengeringan dilakukan di rak pengering khusus yang dibuat bertingkat. Ketika dijemur di bawah matahari, biji-biji kopi ini harus dibolak-balik secara berkala agar biji kopi mengering secara merata, dan untuk menghindari jamur/pembusukan. Proses natural, buah kopi yang dikeringkan masih dalam berbentuk buah/ceri, lengkap dengan semua lapisan-lapisannya. Prosesnya yang natural dan alami ini akan membuat ceri terfermentasi secara natural pula karena kulit luar ceri akan terkelupas dengan sendirinya hingga menjadi green bean.


Sedangkan proses full wash dry hulled. ini bertujuan menghilangkan semua kulit-kulit daging yang melekat pada biji kopi sebelum dikeringkan. Proses ini dinilai lebih efektif karena sesuai dengan keadaan desa yang melimpah air tetapi minimal sinar matahari. Setelah dipanen, biji kopi biasanya diseleksi terlebih dahulu. Kulit luar dan kulit daging ceri kopi akan dibuang dengan menggunakan mesin khusus yang disebut depulper (pengupas). Biji kopi yang sudah terlepas dari kulitnya ini kemudian dibersihkan lagi dengan memasukkannya ke dalam tempat khusus berisi air agar sisa-sisa kulit yang masih melekat bisa luruh sepenuhnya akibat proses fermentasi. Setelah itu baru dilakukan penjemuran. Setelah dilakukan penjemuran menjalani proses lanjutan yaitu diproses menggunakan mesin Huller untuk menghilangkan hardskin pada biji kopi yang nantinya akan menjadi green bean. Tahap selanjutnya green bean mengalami proses roasting.

Prinsip Budidaya Petani Bowongso

Masyarakat Bowongso memegang empat prinsip dalam bertani yang disebut PACUL yang artinya papat ojo ngasi ucul  atau empat jangan sampai lepas dalam bertani.

Petani setempat dalam berbudidaya memegang 4 prinsip yang dipercaya mampu mendukung keberlanjutan dan kelestarian alam. nama 4 prinsip tersebut yaitu :
1. SITI= tanah
Dalam melakukan kegiatan pertanian juga harus menjaga kelestarian tanah sebagai tempat utama tumbuhnya tanaman. Apa guna kita memiliki sebidang tanah yang luas tetapi kondisinya telah rusak. Sehingga kita melakukan konservasi dan cara bertani yang benar.
2. WIJI = biji/benih atau apa yang akan ditanam
Memilih bibit yang akan ditanam merupakan kualitas yang terbaik agar nantinya mampu memberikan manfaat secara berkelanjutan
3. WANCI = mangsa atau waktu (pranata mangsa)
Waktu yang sesuai sebagai patokan petani melakukan suatu pekerjaan
4. PANGRUKTI = pemeliharaan / perawatan

Melakukan penggunaan sumberdaya alam secara efisien dan tidak lupa untuk melakukan pemeliharaan/perawatan lingkungan sekitar. Apabila kita telah melakukan 4 hal tersebut, maka ketika kita menggunakan sumberdaya secara efisien dari alam, kita juga telah mampu menjaga dan mengembalikan kelestarian alam.

Koperasi Bina Sejahtera Bowongso

Melihat perkembangan keberlanjutan kelompok tani Bina Sejahtera, Kementerian Pertanian menerima pengajuan pemberian bantuan berupa mesin roaster Froco hitam dari dana APBN tahun 2015 sebagai awal akselerasi seharga Rp123 juta. Kelompok dinilai sudah memiliki kelembagaan yang kuat, sehingga sudah memiliki komitmen untuk tujuan bersama lalu didukung peran pemerintah untuk akselerasi. Bangunan Unit Pengolahan Hasil yang dimiliki menghabiskan dana sekitar 90 juta diwujudkan murni secara mandiri dari kas kelompok. Kini kelompok tani Bina Sejahtera memiliki koperasi yang menjual produk kopi Bowongso secara mandiri dan berkelanjutan.

Biji kopi yang digunakan sebagai bahan untuk membuat produk kopi siap jual di koperasi berasal dari hasil panen petani setempat. Hasil panen biji kopi disetorkan satu pintu ke sekretariat kelompok tani. Semua petani memproses hasil panenya sendiri sesuai dengan SOP yang disepakati bersama. Proses pengolahan hasil panen terdapat di satu tempat di UPH (Unit Pengolahan Hasil), petani memproses hasil panen mereka masing – masing. Setelah menjadi green bean dibawa ke sekretariat untuk diambil sample roasting, jika sesuai maka lolos quality control.

Di koperasi ini petani juga turut serta sebagai penentu harga. Harga jual terendah disepakati melalui musyawarah bersama saat sebelum panen tiba. Sehingga, saat setelah panen terdapat besar harga jual yang jelas dan menguntungkan kedua belah pihak. Sasaran utama konsumen Kopi Bowongso sendiri adalah sektor rumahan bukan kedai kopi atau coffee shop. Mereka yakin bahwa jika bisa memasuki atau memiliki konsumen terbesar dari sektor rumahan maka akan mengalami keberlanjutan. 90% konsumen produk Kopi Bowongso adalah sektor rumahan sisanya 10% ada pada kedai kopi. Perbedaan kopi Bowongso dengan kopi pabrik pada umumnya ada pada harga dan kualitas dimana kopi Bowongso merupakan kopi yang “otentik” tidak terdapat campuran apapun yang saat ini namanya sudah terkenal meluas di masyarakat. Tak jarang banyak orang berkunjung dari berbagai daerah yang rela menempuh perjalanan jauh ke Bowongso.

Kopi Bowongso dapat menjadi bukti bahwa petani Desa Bowongso mampu menjadi pelaku yang berhasil melakukan sebuah inovasi pertanian berkelanjutan, bukan hanya sebagai objek penelitian.

Mereka mampu menjadi pelaku utama mulai dari proses penggalian ilmu tentang berbudidaya kopi mulai dari dalam perbanyakan bibit kopi maupun pemilihan proses pengolahan biji kopi yang sesuai berdasarkan hasil uji coba yang dilakukan, melibatkan petani sebagai penentu harga, dan mampu menjalankan koperasi kopi yang mandiri serta berkelanjutan.