Menyebut nama keju Colby yang berwarna oranye dan padat, Mozzarella, Chevre, Ricotta, Feta, Gouda, Halloumi yang teksturnya seperti tahu, dan berbagai jenis lainnya bayangan kita akan langsung pada keju import dari Eropa. Padahal aneka keju natural bisa dibuat dari bahan lokal di Yogyakarta. Kehadiran keju natural itu, tak lepas dari ketekunan pasangan suami istri Muhamad Najmi yang sering disapa Jimie dan Nieta Pricillia.
Jimie sendiri tak asing dengan keju, kebiasaan keluarga di Sumatra yang membuat keju secara tradisional dari susu kerbau. Baru tahun 2012 Jimie makin sering mengolah keju untuk kebutuhan keluarga.
“Tahun 2012, anak pertama saya lahir dan didiagnosa memiliki kebocoran jantung”, kenangnya.
Pemulihan secara alami menjadi pilihan. Mereka sepakat merawat putrinya di rumah dengan syarat lingkungan rumah bersih, makanan yang sehat (jelas asal usul dan teknik mengolahnya). Berbagai informasi makanan sehat dilahapnya, termasuk keju natural. Setelah mempelajari beberapa bahan makanan, Jimie tertarik memberikan keju sebagai MPASI (Makanan Pendamping Air Susu Ibu) karena kaya nutrisi.
Keju sebagai salah satu makanan probiotik menggunakan kefir dalam pembuatannya. Kefir mengandung simbiosis antara bakteri dan yeast yang sering disebut scoby. Dibanding produk probiotik lainnya, kefir termasuk kaya berbagai mikroorganisme yang sangat baik untuk pencernaan. “Ada sekitar 60 jenis mikroba dalam kefir. Ini salah satu penyebab orang Mesofotamia panjang umur karena rajin mengkonsumsi olahan dari kefir”, jelas Jimie.
Sayangnya keju yang ada di pasaran kebanyakan keju proses bukan keju natural. Keju proses dibuat dengan mencampurkan keju dengan bahan-bahan lain seperti minyak nabati, pengawet (potasium sorbat) dan berbagai bahan lain. Adanya bahan pengawet menyebabkan keju proses bisa disimpan dalam suhu ruang, berbeda dengan keju natural yang membutuhkan suhu khusus 00 – 30C.
“Biasanya perbandingan keju dengan bahan-bahan lainnya dalam keju proses 1:1 atau bahkan lebih sedikit kandungan kejunya. Bahan kimia sintetik tidak bisa dikeluarkan oleh tubuh, dan akan tetap tersimpan sebagai residu dalam tubuh”, terang Jimie.
Pilihan pun jatuh pada keju natural. Sayangnya kalaupun ada keju natural kebanyakan masih import sehingga harganya mahal. Hal itu mengerakkan Jimie belajar membuat keju natural ke banyak orang: neneknya di Sumatra, rekan dari Armenia, bahkan hingga terbang ke Kanada mendalami pembuatan keju.
Ada 1400 jenis keju di dunia, dengan bahan baku yang hampir sama; susu, kefir, enzim rennet, dan garam. Perbedaan metode pembuatan akan menghasilkan jenis keju berbeda. Namun praktik membuat keju di rumah tak selalu mulus. Pembuatan keju sangat terkait suhu, kandungan bahan lokal, kelembaban, pH lingkungan. Berbagai uji coba yang ia lakukan akhirnya membuahkan hasil: Jimie berhasil membuat aneka keju natural dan tepat 1,5 tahun usia anaknya kebocoran jantung menutup secara alami.
“Biasanya dengan kasus serupa, anak-anak akan dioperasi pada usia 9-13 tahun”, imbuhnya.
Kebiasaan membuat keju di rumah terus ditekuni Jimie disela kesibukannya sebagai Direktur Marketing sebuah perusahaan IT ternama. Hingga Desember 2015 keju buatan jimie “nyasar” ke pasar organik Jogja. Rekan Jimie seorang chef membawa keju yang ia buat ke pasar kamisan, dicicipi Janti Wignjopranoto (salah satu pengelola pasar organik Jogja-red). Beberapa hari kemudian ia ditawari terlibat di pasar kamisan.
“Awalnya bingung juga, yakin gak jualan keju, sebelumnya belum pernah jualan keju. Saya sampai sungkan, karena teman-teman lapak sebelah yang sangat semangat mempromosikan keju saya ke pengunjung”, terangnya sambil tersenyum.
Berawal dari pasar organik Jogja keju olahan Jimie mulai dikenal. “Produksi awal 2 kg keju/ hari yang berasal dari 20 liter susu”, kenangnya.
Pesanan mulai berdatangan, Jimie akhirnya mendirikan Mazaraat Artisan Cheese yang berlokasi di Jalan Rotowijayan No.24, Kadipaten, Yogyakarta. Dibantu sang istri, lelaki kelahiran Jakarta, 31 Agustus 1976 ini membuat keju secara rumahan. Hingga akhirnya berhenti dari pekerjaan kantoran menjadi keputusannya.
“Gaji besar saat itu bukan berarti saya banyak bisa nabung. Yang ada malah ngutang, jarang di rumah. Setelah menekuni keju, walaupun pendapatannya jauh lebih sedikit saya malah bisa nabung, waktu lebih banyak di rumah melihat anak-anak tumbuh”, terangnya.
Sebelum menduduki posisi penting di perusahaan tersebut, selepas kuliah di Universitas Gadjah Mada, Jimie sempat membuka biro periklanan dan membuat soft ware house. Kini, kesehariannya disibukkan mengolah 200 liter susu segar/ hari menjadi 20 kg keju natural.

Aneka Keju Mazaraat
Salah satu keunggulan keju buatan Jimie adalah menggunakan susu dari peternak di Boyong, Merapi yang jaraknya tak sampai 30 km dari tempatnya mengolah keju. Peternak pun bukan peternak sembarang. Peternak yang bekerjasama dengan Jimie membudidayakan ternak secara ramah lingkungan. Pemberikan pakan yang tak mengandung pestisida sintetik, tanpa pakan pabrikan serta tanpa suntikan antibiotik. Alih-alih menyuntikkan antibiotik, peternak menggunakan ramuan herbal/jamu untuk mengobati ternak sakit. Dekatnya sumber susu dengan tempat pengolahan keju menjadikan susu diolah menjadi keju tak sampai 1 jam dari susu diperah. Makin jauh asal susu makin kurang seimbang fermentasi alaminya.
Ketekunan Jimie mengolah keju dari bahan lokal alami, menghasilkan keju natural yang berkualitas. Tak tanggung-tanggung, keju produksi Mazaarat yang dipelajari dari nol dan diperkenalkan di pasar-pasar komunitas Yogyakarta dan Bali kini sudah dinikmati sejumlah koki populer seperti William Wongso dan Sisca Soewitomo.
Jimie tak hanya membuat keju natural, ia juga mengadakan workshop cara pembuatan keju. Tujuannya mengedukasi masyarakat tentang keju natural. “Padahal kita punya potensi produksi susu ternak, tapi 80% keju natural masih import. Bahkan secara alami beberapa masyarakat di Indonesia sudah terbiasa mengolah keju tradisional seperti di Makasar, Padang dan Sumatra Utara. Semuanya menggunakan susu kerbau, sama dengan keju Mozarella dari Italia yang terkenal”, terang Jimie yang juga menjadi konsultan salah satu perusahaan keju natural ini.
“Sayang sekali kalau susu dari peternak tidak dimanfaatkan maksimal. Peternak kita terbiasa memproduksi susu dengan kualitas dan harga beli yang rendah. Biasanya pabrik susu membeli susu dari peternak dengan harga cukup rendah. Padahal dengan mengolahnya menjadi keju misalnya, peternak menjadi terpacu untuk menghasilkan susu dengan kualitas dan harga beli yang lebih baik,” jelas Jimie yang membeli susu dari peternak dengan harga 50% lebih mahal dibanding harga yang dibeli pabrik susu.
Berbicara pertanian Indonesia, Jimie melihat perlunya kesadaran masyarakat tentang produk pertanian dan peran pemerintah mengembangkan pertanian. “Berikan masyarakat informasi mengenai produk yang ia konsumsi secara lengkap dan benar, setelah itu mereka akan memilih sendiri,” tuturnya.
Sayangnya, masyarakat selama ini belum mendapat informasi yang lengkap mengenai produk yang ia konsumsi, baik dari kandungan nutrisi, cara budidaya maupun cara pengolahannya. Pemerintah sendiri juga dinilai kurang mendukung kemandirian pertanian Indonesia, seperti kebijakan pemerintah memberikan bibit GMO (Genetically Modified Organisms) ke petani. Padahal bibit GMO memiliki banyak kelemahan. Akibatnya petani harus menggunakan berbagai pupuk atau obat-obatan kimia yang diproduksi oleh perusahaan besar. Kondisi seperti ini hanya menguntungkan perusahaan besar tadi, petani semakin kurang mandiri karena semuanya harus dibeli.
“Bagaimana saya tidak bangga sebagai orang Sumatra Barat sebagai satu-satunya provinsi di Indonesia yang menolak bantuan bibit GMO dari pemerintah”, ujarnya sumringah.
Jimie juga berharap riset di bidang pertanian bisa lebih berkembang. “Tidak ada perkembangan ataupun produk yang bagus tanpa riset”, tutupnya bersemangat. (Leana.)