Kebun Kumara: Kebun di Tengah Kota

Berkebun tak selalu di desa, tak juga di lahan yang luas. Kebun Kumara membuktikannya.  Lahan mungil seluas 300m2 disulap menjadi lahan sayur organik menghasilkan hingga 100juta/tahun. Memilih tempat di keramaian kota, tepatnya di Pulau Situ Gintung 3, Tangerang Selatan,  Siti Soraya Cassandra, Dhira Narayana dan dua adiknya mendirikan Kebun Kumara 30 Juli 2016 silam.

Kebun Kumara, sebuah kebun belajar yang menggarap sebagian lahan di Pulau Situ Gintung 3, kawasan yang selama ini cukup bermasalah dengan sampah. Tujuannya sederhana ingin mengajak masyarakat kota hidup seimbang dan lestari.

Awal mula ketertarikan Dhira dan Sandra dengan pertanian ketika mengikuti kursus Permakultur di Bumi Langit, Yogyakarta pada 2016. Sandra yang saat itu masih bekerja di salah satu perusahaan internasional mulai tergerak membuat sesuatu di bidang pertanian dan lingkungan.

“Kami juga jadi semangat dengan Kebun kumara karena terinspirasi Andika & Asri yang mendirikan Agradaya di Yogyakarta. Mereka jadi rekan ngobrol kami dan berbagi semangat”, terang Dhira.

Awal mula Kebun Kumara diisi dengan membuat rumah kompos. Mereka mengumpulkan sampah organik dari warga sekitar. Sayangnya, hal ini cukup memakan energi karena warga belum terbiasa memilah sampah. Akhrinya mereka menyiasati dengan memanfaatkan sampah organik dari dedaunan sekitar Kebun Kumara serta dari rumah tangga yang bisa memilah sampah. Pupuk yang dihasilkan digunakan di kebun serta dijual sebagai modal awal Kebun Kumara.

Sandra prihatin dengan kondisi pertanian saat ini dimana anak muda kurang peka terhadap pertanian dan lingkungan. “Saya belum pernah mendengar satu anakpun yang bercita-cita sebagai petani, apalagi nelayan”, jelas Sandra yang pada perayaan Sumpah Pemuda 2017 diundang oleh presiden Joko Widodo bersama pemuda lainnya di Istara Bogor.

Sandra juga prihatin dengan kondisi pertanian Indonesia yang dinilai belum selaras dengan alam. “Manusia harus belajar dari alam”, jelas perempuan murah senyum kelahiran Jakarta, 31 Juli 1988 ini.

Keprihatinan itu, menjadikan Kebun Kumara menawarkan paket pendidikan lingkungan dan pertanian ke sekolah. Usaha ini tak langsung berjalan mulus, sekolah banyak tak tertarik.  “Yang pertama tertarik malah komunitas”, terang Dhira.

Beruntung di tengah kegelisahan tersebut Dhira berbincang dengan Prabowo, pemiliki Bakso Atom. “Kata-kata pak Prabowo yang bilang bahwa selama ini saya banyak kerja tapi hasilnya belum kelihatan seolah jadi pematik”, kenang Dhira.

Semangat Prabowo yang memulai usaha bakso atom dari grobag hingga seperti sekarang menginspirasi Dhira. Prabowo tak sungkan menekuni itu walaupun sebelumnya pernah menjabat sebagai Vice President di salah satu perusahaan multinasional.

Atas saran Prabowo, Dhira mulai menata Kebun Kumara: taman depan yang selalu dilewati bis ataupun masyarakat dipercantik. Benar saja, tampilan Kebun Kumara yang lebih menarik membuat orang berhenti dan melihat kegiatan Kebun Kumara. Kehadiran pengunjung menantang Kebun Kumara membuat aktivitas menarik.

Bebagai kegiatan  seperti menggarap lahan sayur organik, pelatihan tentang pertanian dan lingkungan hidup: berkebun, pembuatan kompos, mengolah sampah jadi eco brick, dan COB (membuat bangunan dengan semen organik) mulai dilakukan. Pelatihan diberikan pada anak-anak sekitar, pelajar, maahasiswa, komunitas ataupun masyarakat umum. Tak cukup mengandalkan tenaga dari pendiri Kebun Kumara, relawan pun mulai dibuka.

“Kami sangat terbantu dengan adanya relawan. Total relawan ada sekitar 50 orang, hampir 70% aktivitas Kebun Kumara dibantu relawan”, tambah Dhira.

Selain relawan, kegiatan sehari-hari Kebun Kumara juga dibantu oleh Sriyono yang akrab disapa Prof Yono dan Muntaha Yazid. Prof Yono sebelumnya tak memiliki pekerjaan dan hidup di “jalan”, kini kesehariannya mengelola sampah di Kebun Kumara menjadi pupuk organik. Setali tiga uang, Yazid anak muda yang juga pernah hidup di “jalan”, pernah mengenyam ilmu pertanian di The Learning Farm-Jawa Barat kini sangat fasih dengan budidaya sayuran organik. Yasid sebagai penanggung jawab budidaya sayuran organik Kebun Kumara.

Cerita lahan sayur organik Kebun Kumara terbilang unik. Mereka menanam aneka sayur seperti selada hijau, merah, mint, dan timun di lahan seluas 300 m2. Kebun Kumara tertantang menjadikan lahan tersebut sebagai konsep lahan perkotaan yang mampu menghasilkan 100juta/tahun.

“Harapannya konsep ini bisa diterapkan di tempat lain. Kami tertantang mengajak masyarakat kota memanfaatkan lahan sempit untuk berkebun, selain sehat juga menguntungkan. Perhitungan kami bahkan bisa lebih dari angka tersebut, jadi tergantung komoditas yang ditanam dan cara memasarkannya. Contohlah sayuran seperti selada, mint dan bunga telang, ketika dikemas dalam box kecil dan dijadikan bahan personal salad harganya akan meningkat”, tambah Dhira yang mengingatkan alam harus dijaga kelestariannya, jangan sampai hubungan dengan alam hanya bersifat transaksional.

Pendekatan yang digunakan Kebun Kumara mengenalkan pertanian dan lingkungan sangat menarik, seperti wisata keliling kebun, petik sayur sendiri hingga kelas mengolah panganan sehat hasil kebun. Jika berkunjung ke Kebun Kumara, pengunjung akan diajak Sensory Garden Tour. Tour mengenalkan tanaman yang dikemas menarik. Misalkan daun jintan dipetik dan ditempelkan di pelipis akan menimbulkan kesan dingin. Secara tak langsung akan mengajarkan tanaman tersebut bisa sebagai obat penurun panas.

Hasil yang dicapai Kebun Kumara kini bukanlah tanpa liku, jatuh bangun pernah mereka alami. Berbagai usaha pernah mereka coba seperti tanaman obat, tanaman buah, ataupun benih. “Awal berdirinya Kebun Kumara bisa dibilang belum dapat pemasukan apa-apa. Tapi kami yakin dan terus mengembangkan diri”, kenang pemuda penyuka buku Fihi Ma Fihi ini.

Sandra dan Dhira pasangan yang berbagi peran di Kebun Kumara. Sandra banyak bergerak di pendidikan dan pelatihan lingkungan, ia mengembangkan program pendidikan lingkungan di Kebun Kumara. Sedangkan Dhira lebih banyak bertanggung jawab pada operasional kebun.

Melihat aktivitas Kebun Kumara, banyak yang mengira mereka lulusan pertanian atau lingkungan. Siapa sangka pasangan ini merupakan alumni Psikologi Universitas Indonesia. Sandra bahkan selepas mendapat gelar sarjana psikologi UI sempat mengenyam pendidikan di University of Queensland, Australia (2010). Semasa kuliah Sandra sering mewakili Indonesia dalam beberapa kompetisi debat seperti di Kanada dan Malaysia. Dunia kerja ia awali ketika bekerja selama 1,5 tahun di salah satu lembaga pendidikan ternama di Indonesia. Kegelisahan pada pendidikan mengantarkan Sandra mengikuti program Indonesia Mengajar Juni 2012-Juli 2013 di SD Maluku Tenggara Barat. Selepas dari Indonesia Mengajar, ia  kembali bekerja  di salah satu perusahaan internasional selama 3 tahun hingga Juli 2016 dan memutuskan mendirikan Kebun Kumara bersama sang suami Dhira.

Dhira sendiri selain sebagai Operation & Field Manager  di Kebun Kumara, juga sebagai koordinator Lingkar Ganja Nusantara yang sedang memperjuangkan legalitas ganja untuk kesehatan dan industri. Pemuda kelahiran 25 April 1987 ini sedang mengembangkan riset ganja di bidang pengobatan.

Keberadaan Kebun Kumara tak terlepas dari peran rekan penyemangat di baliknya. “Kami banyak mendapat semangat dari Agradaya, Bu Dwi Pertiwi (JC Organics) , Pak Prabowo (Bakso Atom), dan Pak Iskandar (Bumi Langit), “ terang Dhira mengenang.

Tak hanya menunggu pengunjung yang datang ke Kebun Kumara, mereka juga rutin mengikuti berbagai pameran. Tujuannya tentu saja mengajak semakin banyak orang mau berkebun dan memperhatikan lingkungan.

“Kunci usaha di bidang pertanian cuma berani main tanah dan berani salah”, tutup Dhira bersemangat. Wah! (Leana.)