I Gede Artha Sudiarsana: Merintis “Gede Jamur“ Di Desanya

Keinginannya menjadi pioner perubahan desa

Siapa bilang anak muda tidak bisa bertani? I Gede Artha Sudiarsana membuktikan bahwa dirinya adalah salah satu pemuda Indonesia yang mempunyai kemampuan bertani. Gede membuktikan kesuksesannya bertani jamur di usianya yang baru menginjak 21 tahun. Seorang mahasiswa Prodi Agribisnis Universitas Udayana ini mantap menjadi seorang petani. Keputusan ini berawal dari keprihatinannya akan kondisi pertanian di desanya. “Saya tergerak kembali ke desa karena pertaniannya belum terkelola dengan baik. Di sini masih banyak lahan yang tidak produktif, rata-rata ditumbuhi semak belukar,” ungkap Wakil Ketua UYEC periode 2014-2015 tersebut.

Gede juga menambahkan, “Mayoritas petani di sini adalah orangtua sehingga adopsi terhadap perkembangan teknologi pertanian sangat rendah. Pertaniannya pun masih subsisten dan belum berorientasi pada market.”

Lesunya peran pemuda desa turut menambah keprihatinannya. “Profesi petani dianggap kurang bergengsi,  belum dapat menghasilkan pendapatan yang layak.”

Tak ingin mengikuti arus, Gede berencana akan kembali kampung halamannya setelah menyelesaikan studi. “Saya akan menjadi pioner perubahan desa. Tekad saya adalah mengajak para pemuda agar mau kembali bekerja di sektor pertanian. Apabila pemuda desa turut mengelola pertanian, saya yakin hasilnya sangat luar biasa. Meningkatkan kehidupan petani agar lebih layak” ungkapnya optimis.

VB2_0074

Gede Menyulap Limbah Kayu Menjadi Baglog-Baglog Jamur

Potensi desa, permintaan pasar, dan perputaran modal adalah beberapa hal yang dipertimbangkan Gede sebelum merintis usahanya. Setelah melakukan berbagai kajian, jamur dianggap sebagai komoditas yang paling tepat dikembangkan di desanya.

Desa Pidpid yang terletak di kecamatan Karangasem, Bali merupakan salah satu daerah sentra kerajinan kayu. Limbah kayu yang dihasilkan terutama serbuk gergaji menjadi salah satu penyebab permasalahan lingkungan bagi warga. Dari situ Gede memperoleh ide untuk mengelolanya menjadi sesuatu yang lebih bermanfaat. Limbah-limbah serbuk gergaji yang awalnya dibiarkan berserakan di jalanan desa kini ia sulap menjadi baglog-baglog (media tanam) jamur tiram yang bernilai ekonomis tinggi.

Setali tiga uang, permintaan pasar terhadap jamur juga masih terbuka lebar di Bali. Menurutnya, Bali yang merupakan destinasi pariwisata akan terus membutuhkan komoditas ini hingga ke depan. “Selama ini untuk memenuhi kebutuhan jamur di Bali masih mendatangkan dari Jawa baik dalam bentuk segar maupun produk olahannya. Bahkan kebutuhan baglog juga masih dari luar.”

Gede juga menambahkan, “Perputaran modal bertani jamur sangat cepat, biasanya baglog sudah tumbuh dan bisa panen pertama rata-rata saat usia 1-1,5 bulan. Usia produktifnya sampai 5 bulan dan bisa dipanen 4-5 kali.”

Banyaknya variasi produk olahan jamur juga menjadi keunggulan lain dari komoditas ini. “Jamur juga dapat diolah menjadi berbagai macam produk olahan seperti jamur crispy, krupuk jamur, nugget jamur, abon jamur, dll. Sehingga untuk meningkatkan added valuenya lebih mudah. Golongan vegetarian juga menjadi bidikan utama kami,” ungkap pemuda kelahiran Pidpid, 5 Februari 1995 ini.

Hasil kerja kerasnya itu bernama “Gede Jamur”

Sesuai dengan namanya, Gede artinya besar. Cita-citanya adalah menjadikan Gede Jamur sebagai produsen jamur segar maupun produk olahan jamur terbesar di Bali.

Pemuda yang pernah menjabat sebagai Local Executive Vice President JCI Karangasem ini sangat optimis dengan masa depan. “Saya berharap dapat bermitra dengan masyarakat dan bersama-sama mulai dari hulu sampai hilir menjadikan Desa Pidpid sebagai wilayah sentra jamur. Dengan demikian dapat membuka peluang kerja sebanyak-banyaknya. Harapannya para pemuda desa dapat terinspirasi dan mau kembali ke desa.”

Ada yang menarik ketika membicarakan permodalan usahanya. Gede yang masih berstatus mahasiswa tentu belum memiliki modal yang cukup. Namun, modal yang terbatas tak menyurutkan langkahnya. Segala upaya ia lakukan mulai dari menggalang modal ke teman-temannya maupun meminjam modal. Pinjaman modal diperolehnya dari Bali Bhakti yaitu suatu organisasi yang memberikan perhatian khusus kepada wirausahawan muda Bali. Beasiswa Generasi Lestari dari BPR Lestari yang diperolehnya juga Gede gunakan untuk menambah kekuatan roda bisnisnya,

Gede telah memasarkan produknya ke beberapa pedagang di pasar, warung, rumah makan, ataupun konsumen yang datang langsung ke tempat usahanya. Menilik dari akun instagram Gede Jamur, Gede Jamur sering mendapat kunjungan dari berbagai kalangan yang antusias belajar budidaya jamur tiram. Saling bertukar pikiran dan berbagi ilmu diakui sangat membantu pengembangan usahanya. “Usaha Gede Jamur ini juga mengantarkan saya memperoleh kepercayaan sebagai salah satu Duta Petani Muda 2016,” kenang juara 3 Duta Petani Muda 2016 ini.

Kini, Gede sedang melakukan pengembangan jenis jamur yang dibudidayakan yakni jamur tiram coklat dan jamur tiram pink. Dalam waktu dekat Gede juga berencana untuk membuat produk olahan jamur tiram seperti jamur krispi, kripik jamur, dan abon jamur. Dalam hal pembibitan dirinya juga akan membuat bibit F0 murni secara mandiri.

IMG20160612101342

Membentuk Kelompok Tani Pertiwi Mesari

Dengan adanya usaha Gede Jamur ini, kini Gede turut berkontribusi dalam menciptakan lapangan pekerjaan. “Saat ini saya sudah mengajak dua orang tenaga kerja yang kebetulan ibu-ibu,”ucapnya bahagia.

Satu-satunya usaha jamur di Desa Pidpid ini telah menarik banyak perhatian masyarakat untuk belajar mengenai proses budidaya jamur tiram. Hal ini dijadikannya sebagai strategi dalam melakukan pendekatan ke masyarakat. Kemudian pada awal tahun 2016 Gede mengajak petani sekitar untuk membentuk kelompok tani yang bernama Kelompok Tani Pertiwi Mesari. “Pertiwi artinya Tanah, dan Mesari artinya menghasilkan hal-hal yang baik,” ujarnya berfilosofi.

Adapun tujuan dari terbentuknya kelompok tani tersebut untuk meningkatkan bargain power dari petani. “Selain sebagai akses informasi dan penyuluhan dari dinas, kelompok tani juga bisa menjadi wadah memasarkan produk anggota. Sehingga petani dapat terhindar dari permainan tengkulak. Harapannya ya meningkatkan pendapatan petani itu sediri.”

Bukan perjuangan jika tanpa rintangan, Gede mengaku masih kesulitan mengajak anggota kelompok untuk mengikuti jejak membudidayakan jamur. Keterbatasan modal adalah kendala utama bagi petani. “Saya juga masih kesulitan mengajak generasi muda untuk kembali ke desa mungkin karena anggapan bahwa bekerja di kota lebih bergengsi.”

Suka duka Gede menjalankan “Gede Jamur”

Duka yang ia rasakan ketika bertani jamur adalah ketika hasil panennya sedikit dan tak jarang menimbulkan kerugian finansial. Rendahnya hasil panen biasanya karena jamurnya terserang hama jamur lain. Perubahan cuaca ekstrem yang mengakibatkan kelembapan terlalu tinggi juga turut mengganggu proses inkubasi dari media tanam jamur. “Duka lainnya adalah karena saya baru start up, belum bisa membuat bibit jamur secara mandiri. Apabila saya kehabisan bibit dan di pemasok bibit juga sedang habis, maka saya tidak bisa berproduksi.”

Masih banyak suka daripada duka yang Gede rasakan selama menjalankan usahanya. Tidak seperti kebanyakan rata-rata mahasiswa yang masih bergantung kepada orangtua, Gede justru sudah mampu memberikan kontribusi finansial ke keluarganya.  Sebagai seorang kakak, dirinya juga dapat memberikan contoh bagi adik-adiknya agar berwirausaha sejak dini. “Selain itu, saya juga sangat senang saat melihat jamur-jamur yang saya tanam tumbuh dan berkembang dengan baik dan berkesinambungan,” jelasnya dengan ramah.

Usahanya ini diharapkan juga mampu menginspirasi generasi muda lain untuk kembali ke desanya mengembangkan potensi pertanian yang ada.

Dengan menjalankan usaha Gede Jamur ini sedikit banyak mengasah kemampuan Gede dalam belajar nilai-nilai kehidupan. Kesabaran, kegigihan, dan kerja kerasnya dilatih ketika harus menghadapi kegagalan, kesulitan, maupun tantangan yang ada. “Saya harus konsisten pada komitmen dalam memajukan Gede Jamur. Selama menjalankan bisnis ini, nilai terpenting yang saya dapatkan adalah bahwa berbagi itu indah. Begitu indah ketika kita bisa membagikan ilmu yang kita miliki kepada orang lain. Mampu menularkan sikap positif ke lingkungan sekitar dengan berwirausaha.”

Mengakhiri pembicaraan, Gede berpesan kepada generasi muda yang akan berkecimpung di dunia pertanian seperti dirinya. “Kita pemuda harus bisa menanamkan mindset bahwa bertani itu kekinian. Pertanian merupakan usaha yang akan selalu ada sepanjang manusia butuh makan. Kawan-kawan muda juga harus memiliki tekad baja dan pantang menyerah. Segala tantangan harus dihadapi entah itu datang dari sisi permodalan, kegagalan pada saat start up, mempromosikan produk, maupun tantangan yang tak terduga. Petani muda keren….!” Ya, Kereeeen… (Yuni)