Ketika Anak-anak Muda Bertani: Hydroculture.id Merintis Bertani Hidroponik

Pernah berjalan-jalan ke Candi Sukuh atau air terjun Jumog di kawasan lereng Gunung Lawu ? Jika pernah, berarti kawan muda telah berkunjung ke Desa Berjo, sebuah desa di Kabupaten Karanganyar. Desa Berjo yang berbatasan dengan kecamatan Tawangmangu di sebelah Selatan dan hutan Lawu di sebelah Timur ini memiliki banyak potensi alam maupun situs sejarah yang potensial untuk dijadikan destinasi wisata. Ditambah lagi terhitung sejak awal tahun 2017 ada hal baru yang menarik di desa ini selain wisata-wisatanya yang memang sudah terkenal. Bangunan greenhouse sederhana berukuran 15×5 meter dengan penutup mulsa plastik UV dan tanaman selada yang hijau serta segar itu telah berhasil mencuri perhatian baik masyarakat sekitar atau wisatawan yang tak sengaja melihat ketika berkunjung. Hydroculture, begitulah nama yang diberikan oleh ketiga pemrakarsa greenhouse tersebut yakni Septian Agung Wijayanto, Wahyu dan Wisnu.

Mendobrak Kebiasaan Lama

Butuh keberanian yang cukup besar untuk membangun greenhouse di pedesaan yang mayoritas petani masih menggunakan teknik bertanam tradisional. Hal tersebut diakui oleh Septian Agung Wijayanto atau yang akrab dipanggil Septian,

“Awalnya sedikit kesusahan memperkenalkan teknik bertanam yang baru di tengah mayoritas petani yang masih menggunakan cara lama untuk bercocok tanam. Tak sedikit petani yang meragukan tanaman hidroponik kami. “ , ungkap pria yang lahir pada 7 September 1994 silam ini.  “Apa bisa Mas, menanam sayuran di air? Apa tidak becek? “, ujar Septian menirukan ejekan petani yang diterimanya.

Namun nyatanya hal tersebut tidak membuat mimpinya surut begitu saja. Sudah lama memang Septian yang merupakan lulusan Teknik Pertanian UGM ini memiliki keinginan membudayakan bertanam dengan metode hidroponik. Berbekal dasar-dasar ilmu yang dipelajari di bangku perkuliahan, Septian mulai mewujudkan ide-ide di kepalanya dengan mengajak Wisnu dan Wahyu untuk membantunya merakit instalasi greenhouse.

“Kami bertiga mempunyai hobi yang sama, nah dengan alasan itulah saya ajak mereka untuk membantu merealisasikan ide saya.” , jelas Septian sambil tertawa.

Berkat bantuan Wisnu, pria kelahiran 11 Januari 1996 dan Wahyu, pria kelahiran 20 April 1996, greenhouse pertama mereka akhirnya berhasil direalisasikan. Lebih lanjut Septian bercerita bahwa pada mulanya greenhouse yang mereka bangun bukan terletak di desa Berjo, melainkan di desa Jenawi Kabupaten Karanganyar. Greenhouse pertama yang mereka bangun pada Oktober 2016 silam itu memiliki luas 15×5 meter dengan tanaman selada sebagai komoditas utamanya. Hingga pada awal tahun lalu, mereka menambah satu bangunan greenhouse mereka di desa Berjo atas bantuan modal dari seorang dermawan. Kini total sudah dua greenhouse yang Hydroculture kembangkan. Ketika ditanya kenapa memilih selada sebagai komoditas utamanya, Septian menjawab bahwa selada terlebih jenis romain butterhead banyak diminati oleh konsumen disamping harganya yang relatif tinggi.

Instalasi Hidroponik di Greenhouse Milik Hydroculture

Membudayakan Hidroponik

Hidroponik merupakan cara bercocok tanam menggunakan air sebagai medianya. Hidroponik dinilai sebagai metode yang efektif dalam bercocok tanam karena selain tidak memerlukan tanah sebagai media pertumbuhannya, hidroponik juga dapat mengefisienkan lahan. Penggunaan air sebagai media tumbuh tanaman, tentu membutuhkan perawatan atau kontrol khusus pada tahap budidayanya. Salah satu cara untuk mengontrol pertumbuhan tanaman adalah dengan membangun greenhouse. Alasan tersebutlah yang dikemukakan Septian dan kawan-kawan dalam membangun greenhouse “Metode greenhouse itu lebih bisa menjaga kualitas dari tanaman yang dibudidayakan.“. Membudidayakan selada dengan metode hidroponik, Hydroculture menerapkan tahap budidaya tanaman hidroponik pada umumnya yakni pembenihan dengan rockwool, pembibitan, penanaman dan kemudian panen. Septian mengaku dalam sehari rata-rata mereka bisa memanen hingga 5 kg selada segar dan besar. Hasil panen yang bagus tersebut kemudian menjadi bukti bagi para petani yang pernah meragukan mereka.

 

“Setelah melihat hasil panen kami yang segar dan besar-besar, para petani itu malah sekarang tanya bagaimana caranya.”, kenang Septian sambil tertawa.

Selada Hasil Panen Hydroculture

Selada hasil panen tersebut kemudian disetor ke pasar-pasar yang ada di Kabupaten Karanganyar dengan harga lima belas ribu per kilonya. Selain itu mereka juga mencoba menyetor ke tempat-tempat makan di area Karanganyar meski belum kontinyu. Ditanya perihal keuntungan yang mereka dapatkan, dengan rendah hati dan diselingi tawa Septian menjawab bila fokus saat ini bukan mengejar keuntungan.

“Belum memikirkan keuntungan karena untuk saat-saat ini masih fokus pengenalan sayur hidroponik ke masyarakat sekitar dulu sih.”, tambah Septian.

“Sesuai namanya, Hydroculture mempunyai makna membudayakan hidroponik pada masyarakat sekitar. Kenapa? Karena kami menilai, hidroponik berpotensi untuk dikembangkan di wilayah desa ini, sehingga dapat tersedianya sayuran ataupun komoditas lain yang unggul secara kualitas, kuantitas serta kontinuitas.”, ungkap Septian.

Tampaknya usaha mereka untuk menyosialisasikan hidroponik ke masyarakat luas cukup serius, terbukti dari kegiatan mereka menularkan ilmu ke kelompok tani di desa Mojogedang setiap sepekan sekali. Selain itu, Hydroculture juga mempunyai target berikutnya yaitu perluasan lahan dan pengelolaan lahan berkonsep agrowisata.

 

Petani Berdasi

Ada yang menarik ketika mengunjungi akun instagram @hydroculture.id, jargon “Petani berdasi” tak pernah absen tertagar pada setiap postingan kegiatan Hydroculture. Sebuah ungkapan kiasan yang memiliki arti dalam ini sekaligus berisi harapan dari ketiga pendiri Hydroculture.

“Petani berdasi merupakan kiasan dengan harapan petani itu bukan suatu pekerjaan yang dianggap rendah di kalangan masyarakat, petani merupakan pekerjaan yang sangat mulia. “, jawab Septian ketika ditanya makna dari jargon andalah tersebut.

Pada akhir pembicaraan, Septian tak lupa berpesan kepada kawan-kawan muda lainnya untuk memberanikan diri menjadi petani. “Dahulu kita sudah tidak bisa menguasai tanah air sendiri. Sekarang jangan sampai kita tidak bisa menguasai kehidupan kita sendiri. Marilah bertani karena dengan itu kita bisa membangun kehidupan sekarang dan masa datang.”, seru Septian penuh harap. Seruan yang membakar semangat! (ismi)

Para Petani Berdasi , Septian (depan). Wahyu (tengah), dan Wisnu (pinggir)