Bermula dari keinginan Naufalino Fadel Hutomo, Febi Agil Ifdilah, Pebriani Artha, dan Lintang Kusuma Pratiwi yang ingin memberikan sebuah karya yang dapat bermanfaat bagi masyarakat. Sempat terpikir dalam benak mereka untuk membuat aplikasi berbasis pencintraan satelit untuk manajemen lahan, akan tetapi setelah dianalisa lebih lanjut akan sulit diterapkan di masyarakat. Kemudian, ide itu mulai perlahan berganti dengan pengamatan yang mereka lakukan di lingkungan sekitar.
Fadel, Febi, Pebriani, dan Lintang mulai khawatir mengenai lingkungan yang mulai berubah seiring waktu berjalan dan masalah penyakit tanaman yang tidak terkendali bermunculan hingga menyebabkan kegagalan panen. Mereka melihat penanganan terhadap permasalahan tersebut masih belum presisi sehingga keempat pemuda yang menyukai petualangan ini memutuskan untuk membuat tim startup dan memulai riset dalam pembuatan sebuah aplikasi pertama mereka dengan tujuan dapat memecahkan permasalahan penyakit tanaman secara presisi.
Di tahun 2017 bersamaan dengan proses pembuatan aplikasi, mereka mendirikan startup bernama Neurafarm yang beranggotakan Fadel, Febi, Pebriani, dan Lintang. Neurafarm sendiri berasal dari kata ‘Neura’ dan ‘Farm’. Neura terinspirasi dari bagaimana neuron dalam otak manusia bekerja, dalam artian neuron-neuron pada manusia saling bekerja dan terdapat aliran informasi satu sama lainnya. Kemudian farm dimaksudkan sebagai perusahaan di bidang pertanian. Berdasarkan arti dari nama neurafarm, diharapkan menjadi perusahaan berbasis teknologi dalam pertanian yang mampu menyambungkan satu unit dengan unit yang lain sehingga semua terintegrasi.
Proses pembuatan aplikasi itu tak begitu saja langsung terbuat, sebelumnya Febi yang masih menjadi mahasiswa tingkat akhir di program studi Teknik Informatika ITB dan Fadel Hutomo yang juga masih menjadi mahasiswa tingkat akhir program studi Teknik Elektro ITB dikenalkan oleh teman satu fakultasnya yaitu Pebriani Artha yang menjadi mahasiswa tingkat akhir di program studi Sistem dan Teknologi Informasi ITB kepada Lintang yang saat itu mahasiswa tingkat akhir di Rekayasa Pertanian ITB. Kemudian keempatnya berdiskusi mengenai ketertarikan mereka untuk membuat sebuah karya yang dapat bermanfaat bagi masyarakat. Walaupun keempatnya memiliki ketertarikan yang sama, namun perbedaan program studi yang ditempuh membuat mereka harus pintar dalam membagi waktu antara kegiatan akhir perkuliahan dan memikirkan rancangan pembuatan aplikasi.
Perjuangan Neurafarm dalam pembuatan aplikasi ini berlanjut dengan kegiatan riset dan pengumpulan data kendala budidaya pertanian pada beberapa kelompok tani di Cimahi. Selain itu, kendala yang lain adalah menyatukan waktu dan pemikiran dari keempatnya, di mana para pendiri Neurafarm terbagi dari berbagai latar belakang disiplin ilmu. Walaupun banyak kendala yang dihadapai Neurafarm pada awal pembuatan tidak membuat mereka menyerah begitu saja.
“Untuk modal awal secara materi mungkin bisa dikatakan tidak ada. Hanya saja struglenya kami itu ketika kami harus merelakan jam istirahat kami demi mengumpulkan bahan dan data yang diperlukan dalam pembuatan aplikasi. Waktu itu kan kami masih menjadi mahasiswa tingkat akhir di ITB. Tapi, Alhamdulillah upaya yang kita lakukan bisa menghandirkan Dr. Tania untuk membantu para penggiat pertanian khususnya di Indonesia,” papar Lintang sebagai Head of Research and development di Neurafarm.
Buah dari kesabaran dan perjuangan Neurafarm membawa hasil yang tidak mengecewakan dengan terciptanya sebuah aplikasi yang bernama Dr. Tania di bulan Desember tahun 2017 lalu. Penamaan Dr. Tania dari kata ‘Dokter’ dan ‘Tania’, di mana kata dokter diharapkan dapat mendiagnosis dan mengobati tanaman. Kemudian kata tania terinspirasi Dr. Tani, namun untuk membangun persona orang yang ramah maka nama aplikasi menjadi Dr. Tania.
Terciptanya Dr. Tania yang merupakan aplikasi berbasis chatbot yang berfungsi untuk mengidentifikasi penyakit tanaman melalui foto daun, berhasil membawa tim Neurafarm memenangkan kompetisi pertama mereka. Dalam kompetisi World Invention and Technology Expo (WINTEX) 2018 tersebut, tim Neurafarm yang saat itu masih berstatus sebagai mahasiswa ITB berhasil mendapatkan medali emas. Selanjutnya dengan pengembangan Dr. Tania yang terus dilakukan dan keinginan Neurafarm yang ingin terus berkembang membawa mereka menerima berbagai penghargaan nasional maupun internasional lain dari kompetisi yang Neurafarm ikuti, seperti : 1st Winner Swiss Innovation Challenge Indonesia 2018, 2nd Winner Startup Istanbul 2018, Gold Medal World Invention and Technology Expo 2018, Asia Pacific Finalist Microssoft Imagine Cup 2018, TOP 15 Asian Entrepreneurship Award 2018, dan TOP 15 Building Indonesia 4.0 Startup by Kementerian Perindustrian RI. Top 11 GSVC.
“Kami selalu berusaha mengikuti pameran dan ajang kompetisi bersama Dr. Tania karena dengan itu kami berharap Dr. Tania dapat dikenal di masyarakat. Kemudian, Dr. Tania dapat menjadi solusi bagi penggiat pertanian masa depan terutama untuk menangani hama yang menyerang tanaman budidayanya dan memberitahukan bagaimana menggunakan pupuk yang efisien,” tutur Lintang.
Dr. Tania adalah aplikasi mengidentifikasi penyakit berbasis kecerdasan buatan (Artificial Intelligence) dan chatbot sehingga dapat mengidentifikasi dengan akurat, cepat serta dapat melakukan diskusi interaktif bersama Dr. Tania. Penggunaan dari Dr. Tania sendiri hanya perlu memotret bagian tanaman terutama pada bagian gambar daun yang sakit lalu mengirimkannya pada Dr. Tania, maka Dr. Tania akan mengirimkan diagnosis lengkap termasuk gejala dan cara menanganinya.
Manfaat dari penggunaan Dr. Tania yang lainnya adalah rekomendasi produk, yang ditampilkan bersama dengan hasil diagnosis. Rekomendasi tersebut berisi produk yang dapat digunakan pengguna untuk menangani penyakit terkait. Tak kalah pentingnya, adalah fitur katalog yang berisi ribuan penyakit pada ratusan tanaman sehingga para penggiat pertanian bisa belajar lebih lanjut mengenai penyakit tanaman dan cara merawat tanaman. Dr. Tani sudah bisa diunduh melalui Google Play Store dan dapat digunakan untuk mengidentifikasi penyakit tanaman untuk 14 komoditas pertanian.
“Saya senang Dr. Tania sudah bisa saya unduh melalui Google Play Store. Aplikasi Dr. Tania ini cukup bagus, saya bisa langsung memotret daun tanaman saya yang terkena penyakit. Kemudian dari situ saya mendapatkan saran kecocokan beberapa penyakit dari penyakit yang diderita oleh tanaman saya. Namun, dalam analisa belum dicantumkan gambar penyakit daun yang menjadi acuan sehingga saya kadang harus membuka google untuk melihat penyakit yang dikatakan Dr, Tania. Saya sebagai pengguna aplikasi sangat berharap bahwa Dr. Tania dapat dikembangkan lebih lanjut supaya lebih akurat dan presisi lagi dalam menganalisa penyakit pada tanaman,” terang Tri Wibowo seorang agronomi yang sering mendampingi petani di lapangan.
Kini pengguna Dr. Tania untuk saat ini sudah mencapai lebih dari 500 pengguna android. Neurafarm merencanakan Dr. Tania akan dikembangkan lebih lanjut untuk dapat mengidentifikasi permasalahan lahan pertanian dan saran pengolahan lahan pertanian yang presisi.
“Kami akan terus meningkatkan fitur-fitur dalam aplikasi Dr. Tania sehingga dapat lebih bermanfaat bagi para penggiat pertanian khususnya di Indonesia. Dalam waktu dekat akan ada fitur baru yang akan kami luncurkan. Semoga Dr. Tania bisa menjadi dokter pertanian masa depan kita dan dapat menginspirasi anak-anak muda Indonesia untuk terus mengembangkan pertanian di Indonesia,” tutup Lintang dengan senyuman harapan (Kumala dan Leana).