Mendengar sabut kelapa, kita langsung membayangkan limbah yang biasanya tak banyak dimanfaatkan. Kalaupun ada yang memanfaatkan, masih sebatas untuk membuat bahan dasar sapu atau keset. Cerita menjadi berbeda ketika limbah sabut kelapa berada di tangan seorang pemuda di Yogyakarta. Adalah Arif Nugroho, pria kelahiran Medan, April 1982 silam. Arif telah menetap sejak bangku SMP di kota Gudeg, Yogyakarta. Awal mula bergelut dengan sabut kelapa dimulai dari perkenalannya dengan Guru besar Kimia UGM Bambang Setiadji, yang merupakan peneliti VCO dan segala yang berhubungan dengan pemanfaatan kelapa.
Aktivitas yang berhubungan dengan pemanfaatan kelapa membawa Arif ke beberapa daerah di Indonesia. Salah satunya ke perusahaan tambang di Kalimantan. Disana Arif menemukan cocomesh bisa dimanfaatkan sebagai bahan reklamasi tambang. Mirisnya saat itu cocomesh sebagaian besar masih diimport, padahal bahan dasar cocomesh adalah limbah sabut kelapa yang jumlahnya cukup melimpah di Indonesia. Hal inilah yang menginspirasi penyuka soto ini mengolah sabut kelapa menjadi cocomesh.
Apa itu cocomesh?
Cocomesh merupakan jaring dari sabut kelapa yang berfungsi untuk menahan erosi pada lahan kritis. Cocomesh telah menjadi primadona dalam membantu proses reklamasi tambang, pantai, atau hutan. Sifatnya yang biodegradable (dapat terurai) namun cukup kuat, mempermudah tumbuhnya tanaman baru pada bidang cocomesh yang diletakkan di tanah. Selain itu cocomesh juga berfungsi untuk menyimpan air dan menjadi sumber bahan organik pada tanah.
Cococmesh yang dihasilkan Arif berukuran 2×25 meter, dengan jarak lubang 3 cm. Ukuran ini merupakan ukuran standar untuk reklamasi lahan bekas tambang.
Pemberdayaan Masyarakat
Tak egois dengan membuat pabrik cocomesh, Arif memilih menggandeng masyarakat. Bertempat di sebuah desa kecil di Kulonprogo, Arif dan kawan-kawannya bermitra dengan masyarakat Dusun Kelengen, Sendangsari membuat cocomesh. Awalnya sangat sulit melatih masyarakat untuk membuat cocomesh, mereka rata-rata mengeluh lelah. Namun berkat ketekunan Arif dan rekannya sekarang ada 80 orang yang aktif merajut cocomesh di desa tersebut.
Awal mulai pengembangan bisnis cocomesh, Arif mendapat pesanan dari seorang rekan yang bekerja di pertambangan. Pesanan cocomesh untuk luasan 50.000 m2 atau sekitar 5 Ha. Saat itu ia kaget dan masih mencoba-coba karena produksi sangat bergantung bahan baku dan tenaga kerja. Selain itu kendala utama cuaca menjadi pertimbangan Arif. Pembuatan cocomesh sangat tergantung cuaca perlu lahan terbuka untuk membentangkan. Tantangan lainnya berasal dari tenaga di lapangan. Sebagian besar pengrajin cocomesh merupakan petani, sehingga saat waktunya panen, pembuatan cocomesh bisa terhenti sementara.
“Saat itu proses pembuatan cocomesh untuk area 1,5 Ha membutuhkan waktu sekitar 1,5 bulan. Total kami butuh waktu sekitar 4 bulan untuk memenuhi pesanan pertama itu,” ungkap Arif mengenang awal mula berdirinya CV Sabut Mandiri. Kini untuk memenuhi permintaan cocomesh Arif di bantu 4 rekannya yang bertugas melatih masyarakat ataupun anggota karang taruna.
Mendekatkan Bahan Baku
Bahan baku cocomesh adalah sabut kelapa, untuk wilayah yogyakarta bahan baku cocomesh sebagian besar diperoleh dari daerah Kulonprogo. Namun karena permintaan yang cukup tinggi, sejak 2009 bahan baku didatangkan dari wilayah Kebumen. Selain mendatangkan bahan baku, Arif juga mencoba mendekatkan bahan baku cocomesh dengan daerah penghasil. Seperti dengan cara melatih masyarakat daerah yang membutuhkan cocomesh dengan masyarakat sekitar.
Daerah yang ia latih membuat cocomesh seperti masyarakat sekitar Perusahaan CGI (Chevron Geothermal Industri) di Subang Jawa Barat, pelatihan yang diadakan oleh program CSR Pertamina dan masyarakat sekitar PT Newmont Nusa Tenggara. Bahkan masyarakat Maluk dampingan Sabut Mandiri dengan PT Newmont Nusa Tenggara cukup antusias dan masih mengembangkan pembuatan cocomesh. Community developmentnya juga berjalan, dengan bantuan penggeraknya Hasan Masysyath.
Keuntungan
Pembuatan cocomesh telah meningkatkan nilai tambah hingga 100% bagi perajin. Dari semula buah kelapa hanya dimanfaatkan bagian dagingnya saja untuk santan, blondo dan sejenisnya. Saat ini sabut kelapanya bisa digunakan sebagai media reklamasi tambang. Dengan merajut cocomesh seluas 1 m2 perajin medapatkan keuntungan 1500 rupiah. Rata rata tiap perajin tiap harinya bisa mengahsilkan 100 m2 cocomesh. Jadi untung yang lumayan ini dapat digunakan sebagian besar ibu-ibu perajin untuk membiayai sekolah anak-anak mereka.
Kelebihan lainnya dalam pembuatan cocomesh ialah prosesnya yang mudah dan tidak ada grade tertentu. Jadi semua kualitas bahan dapat digunakan. Hal ini sesuai dengan fungsi cocomesh yakni sebagai media tanam dan media penyimpan air sekaligus nutrisi, sehingga benih yang ditebar dapat hidup dengan baik di area yang akan di reklamasi. Penggunaan cocomesh ini dapat menyatu dengan tanah (biodegradable) selama kurang lebih satu tahun setelah itu akan terurai menjadi humus.
Awal mula merintis usaha cocomesh ini, Arif memulainya dengan belajar strategi pengiriman barang. Dimulai dengan mengatur pengemasan agar pengiriman 1 truck bisa mengangkut banyak cocomesh. Pernah suatu kali Arif mengalami kerugian ekpedisi karena truck yang mengangkut cocomesh tak pernah sampai, penyebabnya pemilik truck belum melunasi angsuran trucknya. Kini kendala itu disiasati dengan menjalin kerjasama dengan salah satu perusahaaan ekspedisi.
Karir usahanya melejit semenjak ia memenangkan lomba yang diadakan British Council. Lomba ini merupakan kompetisi kewirausahaan sosial berbasis komunitas. Tak tanggung-tanggung, kompetisi tingkat Asia Pasifik ini berhasil sosok pekerja keras ini menangkan. Selain itu aktivitas menulisnya di berbagai media membuatnya semakin banyak dilirik khalayak luas. Pertamina misalnya mulai meluncurkan bantuan mesin press kepada CV bentukan alumni Fakultas Peternakan UGM ini.
Kini selain tetap menjaga pasar cocomesh dan menjadi konsultan untuk reklamasi lahan bekas tambang, ia mulai merambah sektor lain namun tetap berhubungan dengan kelapa. Ia beserta timnya mulai merintis pembuatan minyak kelapa. Proses pemasaranpun telah mulai dilakukan seiring meningkatnya kesadaran masyarakat memulai hidup sehat dengan minyak kelapa. Seperti yang diketahui minyak kelapa mempunyai nilai kolestrol yang lebih rendah dibandingkan dengan minyak sawit. Beberapa usaha makanan tradisional Yogyakarta seperti gudeg menjadi konsumennya. Tak tanggung-tanggung, beberapa usaha gudeg ternama menjadi langganan minyak goreng hasil produksi Arif.
Harapan
Indonesia sebagai negara kepulauan dengan garis pantai terbesar di dunia tentu memiliki sumber daya pohon kelapa yang tak terhitung besarnya. Namun pemanfaatannya yang kurang maksimal membuat negara yang dikenal dengan nyiur melambai ini terlihat miskin sumber daya. Seyogyanya pengembangan produk-produk yang berasal dari kelapa perlu dikembangkan lagi. Terakhir Arif yang juga pendiri Yayasan Sosial Dandelion ini berpesan “Sebagai anak muda mulailah mengamati keadaan sekitar dan kembangkan potensi yang ada”. Selamat berjuang! (Leana.)