Azmi Basyarahil sosok pemuda energik kelahiran Jakarta 26 tahun silam, mungkin sudah tidak asing di kalangan mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM). Pemuda yang gemar traveling ke pesisir dan laut ini merupakan alumni Fakultas Ekonomi dan sempat menjadi Ketua BEM Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGM periode 2009-2010.
Azmi yang juga pernah menjabat Ketua OSIS SMA Negeri 1 Depok ini memang tak jauh dari aktivitas organisasi kepemudaan dan kemandirian. Pun dalam menentukan pilihan pekerjaan, Azmi lebih memilih berwirausaha di bidang yang tak banyak digeluti pemuda sebayanya. Ya, Azmi dan beberapa rekannya membentuk Korporadesa, sebuah Community Enterprise yang bergerak dalam pemasaran produk-produk pertanian.
Korporadesa (www.korporadesa.com) mulai terbentuk akhir 2013, beranjak dari kegelisahan melihat kondisi sebagian dari kita khususnya generasi muda yang enggan berkecimpung di bidang pertanian. “Kita Cuma jadi pengunyah. Siapa yang bisa ngasi kita makan kalau tidak kita sendiri. Anak muda harus terlibat memproduksi sesuatu”, ungkap Azmi bersemangat.
Tak mudah menjalankan sebuah usaha terlebih bidang yang belum banyak mendapat perhatian seperti pertanian dan perikanan. “Makanya kalau ditanya pekerjaan, jawaban saya jatuh bangun di Korporadesa”, tambah pemuda murah senyum yang gemar menulis ini.
Pertengahan 2014 Korporadesa menunjukkan geliatnya. Peran yang diambil Korporadesa di hilir, menjadi jembatan antara petani kecil dengan market/pasar. Mereka mulai berjejaring dengan teman-teman desa dengan biaya sendiri.
“Awalnya menjalankan Korporadesa dengan mencari funding seperti memanfaatkan dana hibah, mengikuti program Balai Pemuda DIY, Gerakan Kewirausahaan Nasional (GKN) Kementrian Koperasi dan UMKM serta beberapa kegiatan kepemudaan lainnya” , tutur Azmi yang pernah memenangkan kategori Naskah Esai Terbaik South To South Festival (SToS) Semangat Tanpa Batas di Goethe Institute Jakarta 2012.
Komoditas yang ditangani Korporadesa seperti beras organik, jahe merah instan, kedelai lokal, tempe daun waru, dan ternak ayam jawa super (bekerja sama dengan petani muda di dusun Krekah, Bantul), kopi dan brown sugar (bekerjasama dengan petani Kopi dan Gula Aren di Temanggung), serta natural sea salt (bersama Kelompok Nelayan di Pantai Sepanjang, Gunung Kidul).
Banyak cerita “jatuh bangun” yang dialami Azmi dalam menjalankan Korporadesa. Sebut saja dalam pengelolaan natural sea salt. Azmi menemukan potensi garam yang sangat baik di pantai selatan. Produksi garam dengan meja isolator grade konsumsi dan industri bersama kelompok nelayan di Pantai Sepanjang, Gunung Kidul yang sempat mereka jalankan mampu menghasilkan garam berkualitas. Program ini Korporasdesa lakukan bersama Ocean of Life Indonesia (OLI) dan didukung oleh PT Indmira. Bahkan produksi garam yang melibatkan sekitar 20an petani garam tersebut sempat bekerjasama dengan beberapa pihak untuk pemasaran termasuk dengan perusahaan coklat ternama di Yogyakarta. Sayang produksi garam berkualitas tersebut harus terhenti karena masalah lahan.
“Lahan yang bisa digunakan untuk menggaram sangat terbatas, lahan garam yang tempo hari sempat digunakan produksi garam diminta kembali oleh pemiliknya, dan sebagian area sekarang digunakan untuk parkir bus wisata” ungkap Azmi miris.
Tak berhenti sampai di situ, peluang pengembangan komoditas pertanian lainnya terus dilirik Azmi dan rekan-rekannya, hingga mereka menemukan masalah sulitnya mendapatkan ikan laut segar berkualitas di Yogyakarta. Ikan yang dijual di Yogyakarta sebagian besar didatangkan dari Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Rembang, Juwana, Semarang, Cilacap, Tuban, dan Pacitan.
“TPI Sadeng yang ada di Gunung Kidul tidak sebesar TPI yang ada di pantai utara (pantura), sehingga belum mampu memenuhi kebutuhan ikan di Yogyakarta. Bisa dibayangkan kualitas ikan yang didatangkan dari pantura sampai di Yogyakarta jika tidak dengan penanganan yang baik”, tambah Azmi.
Berkeliling mencari nelayan penghasil ikan berkualitas pun Azmi lakukan, TPI Sadeng, Pacitan dan TPI di kawasan pantura beberapa kali didatanginya. Usahanya membuahkan hasil, hingga pemuda yang telah menulis 3 buku ini menemukan nelayan mitra yang menghasilkan ikan berkualitas di TPI Sadeng, Rembang, Juwana dan Pacitan. Box pendingin serta gudang berpendingin tempat menyimpan produknya pun disiapkan untuk menjaga kualitas produk.
Produk berkualitas, penyimpanan yang baik, tak lantas membuat Korporadesa langsung menuai untung, mereka harus kerja keras lagi mendatangi sejumlah restoran, hotel, cafe, catering, maupun perumahan/konsumen pribadi untuk memasarkan produknya. Tak lupa cerita tentang perjalanan produk juga mereka sampaikan pada konsumen.
“Konsumen penting untuk kita edukasi, karena selera konsumen sangat menentukan permintaan kedepan. Konsumen kita kebanyakan kurang peka terhadap kualitas pangan yang mereka makan”, imbuh Azmi.
Usaha ikan segar, ikan beku, dan berbagai produk perikanan mulai mendapatkan respon positif. Korporadesa pun bisa menjalankan roda usahanya. Produk yang berkualitas menjadi pegangan mereka, sehingga konsumen pun percaya.
Apa yang menjadi pilihan Azmi kini bermula pada titik ketika ia menjalani masa Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Teluk Bintuni, Papua Barat. Perjalanan panjang dengan kapal laut serta kondisi masyarakat Indonesia timur menggugah semangatnya. Ia mendapat lecutan tentang apa yang bisa dilakukan untuk menggerakkan masyarakat kecil yang selama ini terpinggirkan. Setelah menyelesaikan skripsi, Azmi memutuskan kembali ke Papua dalam program yang disponsori UNDP, kali ke 2 ke Papua dalam program tata niaga pala dan rumput laut di Kabupaten Fakfak, Papua Barat.
Kedekatannya dengan laut juga timbul karena keprihatinan Azmi melihat nelayan Indonesia yang miskin di negeri kaya sumber daya laut. Keterbatasan kapal sehingga hanya mampu melaut radius dibawah 20 mil menjadikan mereka hanya mampu menangkap ikan dalam jumlah dan jenis terbatas. Belum lagi hambatan cuaca bagi perahu-perahu kecil nelayan, sehingga musim tangkap ikan mereka terbatas pada bulan Mei-September.
Kegelisahan melihat nasib nelayan Indonesia membulatkan tekadnya menggerakkan usaha di bidang pertanian. Termasuk dengan memilih studi Magister Manajemen Agribisnis (MMA) – Fakultas Pertanian UGM yang kini sedang dijalaninya. Azmi berprinsip desa adalah manifestasi negeri yang makmur. Lumbung imaji, hamparan kerja, dan arus keberanian, menghidupkan desa artinya memilih untuk merdeka. Nah! (Leana.)