Agradaya, Cerita Pemuda Menggeliatkan Desa

Agradaya yang mengandung makna usaha yang maksimal di bidang pertanian, dijalankan 4 sekawan yang masing-masing sebenarnya tidak ada berlatar belakang pendidikan di bidang pertanian. Ella Nurlaila Tuttaqwa, Andhika Mahardika, Nurrachma Asri Saraswati dan Verawati sebelumnya sempat mengecap pekerjaan dengan posisi dan penghasilan yang mengiurkan. Namun kegelisahan akan apa yang bisa diperbuat untuk lingkungan sekitar menguatkan mereka untuk mengikuti salah satu program pengabdian mengajar di pelosok Indonesia selama lebih dari 6 bulan. Pengalaman tersebut semakin meyakinkan mereka untuk membuat sesuatu untuk pemberdayaan masyarakat sekitar.

Pindah ke Yogyakarta

Perjalanan itu tak berlangsung begitu saja, sebelumnya Andika Mahardika yang lulusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro dan Asri Saraswati yang lulusan Teknik Kimia Universitas Teknologi Malaysia sempat mencari pengalaman dengan mengujungi beberapa tokoh yang melakukan kegiatan sosial pemberdayaan masyarakat. Perjalanan sekitar 2 bulan itu mereka lakukan ke beberapa daerah di Jawa dan Bali dengan dampingan Tri Mumpuni dan Iskandar Budisaroso Kuntoadji. Hal ini semakin menguatkan niat mereka untuk berbuat sesuatu dan belajar tentang masyarakat desa.

Keputusan untuk pindah ke Yogyakarta dan tinggal jauh dari hiruk pikuk kota, tepatnya di desa Sendangrejo, Minggir, Sleman pun mereka lakukan. Hal serupa juga dilakukan Nurlaila dan Verawati yang keduanya merupakan lulusan di bidang pendidikan. Pengalaman bekerja di lembaga sosial maupun kesempatan untuk S2 sudah ditangan, namun keputusan berani dilakukan dua perempuan murah senyum ini. Kecintaan mereka pada pendidikan, anak-anak dan pertanian semakin menguatkan program yang dijalankan Agradaya.

Pertanian

Agradaya yang mulai dibentuk September 2014 ini lahir setelah mereka melihat potensi yang bisa dikembangkan di desa Sendangrejo dan pertanian merupakan salah satu jawabannya. Terlebih desa tersebut merupakan salah satu lumbung beras di kabupaten Sleman. Gayung tersambut, mereka bekerjasama dengan Indmira dan menjadi rekan Indmira dalam H2B Pertanian. Menggeluti bidang yang baru dan di lingkungan baru tentu menjadi tantangan tersendiri. Namun tekad kuat mereka menemukan jalan.

“Awalnya kami sempat bingung apa yang bisa dikembangkan di sini. Akhirnya kami putuskan pertanian dan kebetulan kami ketemu dengan Pak Mulyadi petani penggarap yang menjadi partner dalam pengolahan lahan”, ungkap Andika, sang ketua Agradaya.

Kondisi petani yang sulit mendapatkan pupuk, benih yang baik, serta akses pasar yang layak menjadi keprihatinan mereka. Mereka menawarkan penanaman padi merah yang memiliki nilai jual lebih tinggi dibanding padi IR64 yang selama ini biasa petani tanam. Dukungan berupa benih, pupuk dari Indmira serta jaminan akan pasar untuk hasil budidaya, berhasil meyakinkan Mulyadi untuk mendukung program Agradaya. Namun tidak semua teknik pertanian yang ditawarkan dilakukan oleh Mulyadi.

“Petani kita cenderung susah menerima tekonologi baru, mereka tidak mau mengambil resiko dengan mencoba hal baru. Jadi teknik yang telah lama mereka lakukan dan biasanya diwarisi secara turun temurun dari orang tuanya itulah yang dilakukan. Jadi teknik bertaninya itu-itu saja”, tambah lelaki asal Pemalang tersebut.

Hal ini terlihat dari teknik menanam padi 5 bibit per titik tanam, padahal teknik yang ditawarkan Indmira yang telah diuji lebih efektif cukup dengan menanam 3 bibit saja per titik tanam. Begitu juga dengan jarak tanam padi/legowo, Mulyadi lebih memilih menggunakan cara yang biasa ia lakukan.

Malai lebih banyak 

Namun hasil yang cukup menggembirakan dengan menggunakan pupuk SAN dan SNN membuat Mulyadi sumringah. “Malai padi menjadi lebih banyak dan daun nampak lebih hijau”, ungkapnya sambil tersenyum. Hal ini pun menjadi pembicaraan di kalangan petani lainnya.

Salah satu antangan dalam pengembangan pertanian di Sendnagrejo menurut Agradaya adanya hama tikus. Beberapa cara sudah dilakukan untuk mengendalikan hewan pengerat tersebut. Namun belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Bahkan atas petunjuk Dinas Pertanian Kabupaten Sleman, tahun 2008 penduduk desa sudah membuat rumah untuk burung hantu yang akan digunakan sebagai predator alami tikus. Sayang rumah burung yang per ekornya mampu mengendalikan populasi tikus untuk luasan sawah 1 ha itu tak kunjung berpenghuni. Bantuan berupa burung hantu dari Dinas Pertanian Kabupaten Sleman tak kunjung datang hingga kini.

Emping melinjo

Selain dampingan pada petani, Agradaya juga melakukan dampingan pada perempuan di desa Sendangrejo. Mereka mendampingi ibu-ibu rumah tangga untuk membuat emping melinjo. Bahan baku mereka sediakan, begitu juga bantuan pada alat yang dibutuhkan untuk membuat emping. Jasa membuat emping mereka hargai Rp 7000,-/kg. Awalnya yang terlibat hanya 1 orang ibu rumah tangga, kini telah menjangkau sekitar 11-12 orang. Emping hasil perempuan desa itu kini sudah menembus pasar ekspor. Permintaan tak tanggung tanggung, mencapai 1 ton/bulan.

2u9tjk8

“Namun yang mampu kami penuhi saat ini hanya 300kg/bulan, karena kesulitan bahan baku. Bahkan saat tidak musim melinjo kami hanya mampu menghasilkan 100kg emping sebulan”, ungkap Asri.

Keberhasilan itu tak datang begitu saja. Awalnya mereka hanya modal nekat memanfaatkan potensi ibu rumah tangga yang bisa membuat emping. Agradaya belum memiliki pasar, ketika Lebaran tahun lalu emping dikemas jadi parsel dan dijual pada sahabat mereka.  Hingga mereka  bisa bertemu salah satu ekportir produk pangan yang cukup besar di Indonesia dan sangat tertarik pada produk emping Agradaya karna diyakini memiliki kualitas yang bagus.

”Misi kami, para lelaki di desa bisa bekerja on farm sedangkan ibu-ibunya off farm”¸tambah Asri, perempuan yang juga mendalami kesenian dan budaya Indonesia ini.

“Tapi kami tidak memaksakan atau mengejar mereka untuk berproduksi maksimal seperti sistem dalam industri. Kami tidak ingin hanya karena mengejar keuntungan, Sendnagrejo yang sebelumnya dikenal sebagai desa agraris menjadi  desa emping. Jadi kami mengalir saja, ibu-ibu yang tertarik terlibat kami dampingi, bagi yang tertarik bidang lain kami berusaha bantu. Lagi pula karena keterbatasan bahan, membuat emping tidak bisa sepanjang bulan. Jadi harus ada kegiatan alternatif yang juga bisa menambah pemasukan untuk ibu-ibu disini. Kami sudah melakukan pelatihan membuat teh kombucha pada beberapa perempuan disini, dan kedepan sedang mempersiapkan untuk membuat bumbu bubuk”, tambah Nurlela yang sempat bekerja di lembaga sosial di Maluku Utara.

Generasi muda

Tak berhenti sampai disana, Nurlela dan Verawati yang memiliki latar belakang pendidikan dan kecintaan pada anak-anak dan pertanian, juga mendampingi anak-anak desa Sendangrejo dalam wadah Komunitas Anak Bumi. Komunitas yang merangkul anak usia 3 tahun hingga SMA ini melatih mereka tentang pertanian, lingkungan, bahasa Inggris, maupun kewirausahaan.

“Sayang sekali, Indonesia negara agraris tapi generasi mudanya kurang peduli pada pertanian, padahal pertanian memiliki potensi yang besar untuk kemajuan negara ini. Selama ini banyak wacana memajukan pertanian Indonesia termasuk tentang ketahanan pangan, namun kenapa hal itu tidak masuk dalam pendidikan. Cara bertani selama ini hanya diceritakan turun temurun dari orang tua, jadi cara bertaninya itu-itu saja dari dulu, tidak ada inovasi. Menurut saya penting pengenalan pertanian sejak dini pada generasi muda kita”, ungkap Verawati bersemangat.

Langkah 4 pemuda ini memulai dari Agradaya menggeliatkan desa patut diapresiasi, dan semoga bisa menginspirasi pemuda-pemuda lainnya untuk ikut berbuat sesuai potensi lingkungannya. Jayalah Indonesai (Leana.)